Selama ini sebagai salah satu pelopor di industri e-commerce yang sedang berkembang, Tokopedia dan pelaku industri lain nya sebenarnya tidak pernah meminta adanya insentif pajak.
“Harapan kami jika ada aturan pajak baru, aturan tersebut tidak sampai membunuh model bisnis tertentu yang sangat dinamis di industri internet, memberikan ruang inovasi bagi pemain lokal agar mereka mampu bersaing di era internet yang borderless dan global. Dengan harapan kedepannya, Indonesia tidak hanya menjadi negara pasar namun mampu mengambil peran dalam potensi ekonomi digital yang ditargetkan pemerintah pada tahun 2020,” tutur William
Mengenai wacana pengenaan pajak cuma-cuma misalnya, selama ini masyarakat Indonesia sudah teredukasi bahwa internet adalah sesuatu yang gratis, mulai dari mencari informasi melalui mesin pencari seperti Google, mengunduh dan bermain game di Android, iOS, membaca berita di berbagai situs berita, berkomunikasi di berbagai chat platform, hingga melakukan listing produk atau transaksi jual beli di sosial media.
“Tentunya jika para pemain lokal ingin bersaing dengan para pemain global, mereka juga harus mampu menawarkan produk yang dipersepsikan gratis oleh pengguna internet Indonesia dan menemukan model bisnis lainnya untuk bertahan. Misalnya, dengan menyediakan premium listing (iklan berbayar) atau opsi berlangganan kepada pengguna premium di samping listing gratis,” lanjut William.
Opsi berbayar itulah yang menjadi penghasilan dari platform. Nantinya sebagai perusahaan taat pajak, seluruh penghasilan tersebut wajib, sudah, dan akan terus dibayarkan pajak nya oleh para platform seperti iklan baris maupun marketplace. Jika iklan gratis pun akan dikenakan pajak, maka tidak ada ruang untuk pemain lokal agar dapat bertumbuh dan bersaing dalam era internet yang borderless dan harus bersaing dengan pemain global sejak hari pertama layanan lokal diluncurkan.
Para pemain industri hanya berharap ada nya level playing field, diharapkan aturan pajak yang diterapkan tidak membunuh model bisnis yang sudah dibangun bertahun-tahun dengan modal yang tidak sedikit. Selama ini para pemain industri sudah bahu-membahu membangun industri lewat upaya masing-masing dan berhasil menyerap jutaan lapangan pekerjaan baru secara tidak langsung, lewat pertumbuhan industri kurir, logistik, dan produksi domestik.
“Asosiasi E-Commerce Indonesia menuntut agar rencana pengenaan PPN cuma-cuma ini dibatalkan. Apabila ini diberlakukan, maka akan membunuh kreatifitas para pemain baru, yang notabena diwajibkan untuk memberlakukan charge kepada semua bentuk layanan sejak hari pertama beroperasi. Negara – negara lain yang sudah lebih dahulu mengembangkan e-commerce saja masih berhati-hati dalam memberlakukan aturan pajak, agar industri dapat terus berkembang dan manfaat dapat dinikmati semua pihak,” tambah Daniel Tumiwa selaku Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia.
Menanggapi rencana Pemerintah untuk mengenakan pajak cuma-cuma terhadap beberapa model bisnis e-commerce, pendiri KASKUS yang juga salah satu Dewan Pengawas Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Andrew Darwis, mengungkapkan bahwa aturan pajak sangat berdampak untuk kelangsungan perusahaan dan industri e-commerce pada umumnya. Aturan pajak dapat membuat suatu model bisnis e-commerce berkembang atau malah membuatnya mati di negara sendiri.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) cuma-cuma yang dimaksud ini ditujukan bagi beberapa model bisnis e-commerce seperti iklan baris online dan marketplace yang sebagian besar jasanya dapat dinikmati oleh masyarakat pengguna secara gratis. Bagi pengguna yang mengiginkan layanan lebih dapat memilih layanan premium yang berbayar. Model bisnis yang sering dikenal dengan konsep freemium ini sering dijadikan andalan bagi para pelaku usaha di ranah digital, yang pada umumnya menguntungkan bagi pengguna. Namun ditengarai ada salah tafsir dari Pemerintah yang menyamakan layanan gratis ini dengan pembagian sampel gratis yang secara hukum memang harus dikenai pajak.
Pada dasarnya pengenaan PPN cuma-cuma untuk bisnis e-commerce harus dilihat lebih dalam lagi dari revenue atau model bisnis masing-masing jenis e-commerce. Bahkan di kategori e-commerce yang sama pun, fiskus perlu melihat lebih detail mengenai revenue atau model bisnisnya sehingga dapat memahami mana yang benar harus dikenakan PPN pemberian cuma-cuma, mana yang tidak.
“Kami percaya bahwa aturan pajak di Indonesia sedang mengalami perubahan ke arah yang lebih baik, hanya saja perlu diperhatikan dalam merancang aturan pajak bahwa pajak dibuat tidak untuk mempersulit atau mematikan bisnis yang ada, tetapi harus bisa mendukung jalannya suatu bisnis,” kata Andrew.
“Selama ini Kaskus telah membayar pajak sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Pada dasarnya kami mendukung rencana Pemerintah terkait pajak, asalkan aturan tidak dibuat hanya untuk mendapatkan penerimaan pajak yang lebih tinggi tanpa melihat lebih dalam mengenai kondisi bisnis yang ada. Perlu juga kejelian untuk memberikan kesamaan perlakuan kepada semua pelaku bisnis, serta memastikan eksekusi dijalankan secara adil,” imbuhnya.
Perihal rencana Pemerintah untuk mengenakan PPN cuma-cuma terhadap beberapa model bisnis e-commerce, pendiri PriceArea yang juga Pengurus Bidang Kebijakan Publik Asosiasi E-Commerce Indonesia, Bima Laga, mengatakan pemberlakuan PPN cuma-cuma kepada pemain e-commerce akan memberikan dampak yang signifikan kepada pertumbuhan industri, yang notabena masih sebagian besar memberikan layanannya secara gratis. Mengingat banyak pemain asing yang masih beroperasi secara gratis di Indonesia, hal ini tentunya akan menimbulkan efek ketidakadilan dalam industri.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) cuma-cuma yang dimaksud ini ditujukan bagi beberapa model bisnis e-commerce seperti iklan baris online dan marketplace yang sebagian besar jasanya dapat dinikmati oleh masyarakat pengguna secara gratis. Bagi pengguna yang mengiginkan layanan lebih dapat memilih layanan premium yang berbayar. Model bisnis yang sering dikenal dengan konsep freemium ini sering dijadikan andalan bagi para pelaku usaha di ranah digital, yang pada umumnya menguntungkan bagi pengguna.
Namun ditengarai ada salah tafsir dari Pemerintah yang menyamakan layanan gratis ini dengan pembagian sampel produk gratis, yang secara hukum memang harus dikenai pajak. Hal ini tentunya tidak masuk akal mengingat sebagian besar layanan ataupun konten yang diakses melalui internet memang bersifat gratis. Ambil contoh misalnya portal berita yang dapat diakses secara gratis, video musik yang dapat dinikmati secara gratis, hingga aplikasi penunjang produktifitas yang bersifat gratis.
“Direktorat Jenderal Pajak seharusnya mengeluarkan peraturan pajak yang bisa diterapkan oleh masing-masing model bisnis e-commerce. Seiring dengan kemajuan industri, maka peraturan juga harus dapat menyesuaikan dengan bisnis itu sendiri. Ambil contoh Jepang yang sudah lebih mapan dalam indsutri e-commerce, dimana pembentukan tim khusus untuk penerapan pajak terhadap semua transaksi e-commerce sudah dimulai pada tahun 2002 silam. Saat ini rasanya masih terlalu dini bagi Indonesia untuk menerapkan aturan serupa,” ungkap Bima
“Selama ini PriceArea telah membayar pajak sesuai ketentuan hukum yang berlaku, mulai dari PPn, PPh 21, PPh 23, serta PPh 25 ke depannya jika perusahaan memang sudah profitable. Kami tentunya mendukung inisiatif Pemerintah asalkan hal tersebut produktif bagi perkembangan industri,” imbuhnya.