Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah namun miskin investor baik. Strategi menarik investasi lewat pemberian insentif sesungguhnya tidak efektif karena bukan strategi yang tepat dikaitkan strength, weakness, opportunity, and threat (SWOT) Indonesia.
Malahan strategi tersebut dapat membuat penerimaan negara tersandera dalam jangka panjang dan menyentuh rasa keadilan antara investor yang telah ada dengan investor baru.
Akar masalah dari rendahnya investasi adalah perizinan yang berbelit dan ketidakpastian usaha yang parah.
Dari perspektif SWOT, kedua hal tersebut merupakan kelemahan mendasar sehingga kekuatan Indonesia berupa sumber daya alam tidak mampu menangkap peluang dan mengatasi ancaman yang ada. Inilah yang seharusnya mendesak untuk diselesaikan.
Kasus pulau reklamasi di Jakarta merupakan suatu contoh dari parahnya ketidakpastian usaha di Indonesia.
Saat investor telah menanamkan dananya dalam jumlah besar harus dihentikan kegiatan karena faktor-faktor di luar bisnis. Ini menjadi preseden buruk bagi investasi di Indonesia dan membuat usaha Presiden Jokowi untuk menarik investor baik, menjadi sia-sia.
Justru yang berpotensi masuk adalah investor buruk yang berani mengambil risiko, termasuk risiko penyuapan. Mereka cenderung melakukan investasi jauh di bawah jumlah yang dijanjikan untuk mengurangi besaran risiko manakala usaha mereka diganggu.
Ketidakpastian usaha yang parah di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, peraturan yang sering berubah-ubah. Umumnya peraturan yang dibuat di Indonesia setelah jatuhnya Orde Baru, tidak memiliki perspektif jangka panjang. Ini dapat dilihat dari banyaknya revisi atas peraturan yang belum lama dibuat.
Celakanya, kepentingan sesaat dari elit politik telah menghasilkan peraturan yang berpihak pada kepentingan mereka dan menjadi alat untuk memeras dunia usaha ataupun menciptakan peluang penyuapan.
Kedua, adanya peraturan yang tumpang tindih atas suatu kegiatan yang berasal dari berbagai lembaga/kementerian/pemda sesuai kepentingan masing-masing dan sering bertentangan satu dengan lainnya. Sepanjang peraturan-peraturan tersebut demi menjaga kepentingan negara dan tidak saling bertentangan, maka sah-sah saja. Namun jika dibuat sekedar menunjukan kekuasaan tiap lembaga/ kementerian/pemda, maka akan merugikan kegiatan investasi karena meningkatkan biaya ketaatan (compliance cost) dan membuka peluang penyuapan.
Ketiga, banyaknya pasal dan ayat dalam peraturan yang menimbulkan multi tafsir. Ini membuka peluang bagi oknum pemeriksa dan penegak hukum nakal untuk melebih-lebihkan temuan (overstating evidence) agar membuat investor terpaksa menyuap. Belum lagi perilaku elit politik yang menyerang lawan politik lewat dunia usaha dengan memanfaatkan pemeriksa dan penegak hukum serta menciptakan opini publik untuk mengarahkan keputusan pemeriksa dan penegak hukum.
Keempat, sebagian besar pimpinan tertinggi institusi pemeriksa dan penegak hukum dipilih lewat proses politik. Ini membuat politik balas budi dimanfaatkan oleh para elit politik untuk menyerang lawannya atau menggolkan kepentingan mereka. Lebih parah lagi, pada pimpinan dari beberapa lembaga pemeriksa dan penegak hukum berasal dari politikus.
Naluri politik yang dimiliki dalam jangka waktu lama mendorong mereka membuat lembaga pemeriksa dan penegak hukum menjadi lembaga politik. Seandainya mereka mampu menghilangkan naluri politik, namun dosa-dosa lama mereka saat sebagai politikus dapat dimanfaatkan oleh elit politik yang ada untuk menyandera keputusan mereka.
Melihat ketidakpastian usaha muncul dari personal seputar peraturan dan pemanfaatan peraturan untuk kepentingan pribadi dan kelompok, maka imbauan Presiden Jokowi agar DPR jangan terlalu rajin membuat ataupun merevisi aturan, patut diapresiasi. Peraturan-peraturan yang baik dan masih kontekstual jangan dikorbankan hanya untuk mengejar target legislasi, kepentingan kelompok, ataupun kepentingan sesaat sehingga berujung pada ketidakpastian usaha dan berimbas pada penciptaan lapangan kerja.
Untuk menyelesaikan ketidakpastian usaha yang timbul dari persoalan peraturan, maka sebaiknya pemerintah membuat langkah-langkah berikut. Pertama, membentuk tim untuk mengkaji peraturan-peraturan yang ada. Untuk peraturan-peraturan yang substansinya tidak penting dan lebih besar mudharat dari manfaatnya, sebaiknya dihapus. Sementara peraturan-peraturan yang memiliki substansi baik namun lintas kementerian/lembaga sebaiknya dibuat Surat Keputusan Bersama (SKB) sehingga tidak banyak peraturan yang dihadapi dunia usaha. Selanjutnya, pasal dan ayat yang dapat menimbulkan multi tafsir perlu lebih dijelaskan agar mengurangi potensi multi tafsir.
Kedua, mengurangi campur tangan politik dalam pemilihan pimpinan lembaga pemeriksa dan penegak hukum untuk mengurangi peluang kedua lembaga ini dimanfaatkan oleh elit politik untuk kepentingan mereka yang destruktif. Juga, lembaga-lembaga seperti itu sebaiknya tidak dipimpin oleh mantan politikus agar tidak terjadi konflik kepentingan.
Apabila kedua langkah ini diimpelemtasikan, maka akan meningkatkan kepastian usaha dan mengurangi peluang penyuapan.***
Penulis : Agus Tony Poputra, Staf Pengajar Universitas Sam Ratulangi Manado