Berikut Poin-Poin Penting RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Menurut Komnas Perempuan

foto: Jakartakita.com/Indah Purwati

Jakartakita.com – Sejak tahun 2012, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah menegaskan darurat Kekerasan Seksual (KS), karena meningkatnya pelaporan kasus kekerasan seksual, bentuk-bentuk kekerasannya, termasuk usia pelaku dan korban yang mayoritas menyasar perempuan belia. Kedaruratan juga karena buruknya penanganan korban untuk mendapatkan akses kebenaran, keadilan dan pemulihan. Sistem penghukuman tidak memberikan keadilan bagi korban, tidak menjerakan dan tidak menjamin keberulangan.

Sejak tahun 2010, Komnas Perempuan utamanya bersama dengan Forum lembaga layanan telah melakukan pemantauan dan kajian untuk melengkapi kompleksitas bentuk-bentuk Kekerasan Seksual, identifikasi tantangan dan hambatan perempuan korban mendapatkan haknya, penghukuman yang tidak memberikan keadilan dan kebutuhan regulasi yang mampu menjawab kebutuhan dan kepentingan korban dan pelaksanaan kewajiban negara untuk menghapuskan Kekerasan Seksual.

Untuk itu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dibutuhkan sebagai lex specialis. Karenanya, sejak tahun 2014, Komnas Perempuan bersama mitra-mitra strategisnya, utamanya Forum Pengada Layanan, menyusun naskah akademik dan draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai payung hukum dan perlindungan bagi korban.

Pada prosesnya telah melibatkan berbagai pemangku kepentingan diantaranya berkonsultasi dengan korban, pendamping korban, akademisi, aparat penegak hukum, pemerintah dan lembaga-lembaga HAM nasional, dan dicoba disusun oleh tim perumus yang hingga saat ini masuk draf ke III.

 

Adapun poin penting RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah sebagai berikut :

  1. Bentuk-bentuk kasus Kekerasan Seksual, tidak semata perkosaan, tapi meliputi juga pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan  sterilisasi,  pemaksaan prostitusi, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, dll
  2. Prinsip penghukuman yang mendidik, menjerakan, manusiawi dan tidak merendahkan martabat, juga yang memenuhi rasa keadilan korban dan cegah keberulangan. Adapun bentuk pidana ini beragam dan memiliki gradasi dari setiap bentuk Kekerasan Seksual, yang meliputi: pemasyarakatan (yang lebih berat dari KUHP), rehabilitasi pelaku (khususnya anak), dan restitusi terhadap korban (yang dibebankan kepada pelaku dan jika pelaku tidak mampu dibebankan kepada negara). Pidana tambahan meliputi juga pemulihan nama baik, sanksi administratif dan denda (jika ada pelibatan institusi pemerintah/ atau lembaga/ perusahaan). Dalam Pemidanaan diberlakukan pemberatan jika dilakukan oleh orang tua, para tokoh masyarakat, pejabat negara dan aparat hukum, dan jika dilakukan terhadap anak, perempuan hamil dan penyandang disabilitas serta dilakukan secara gang rape
  3. Mensyaratkan adanya perubahan mendasar pada sistem pembuktian yang lebih memudahkan dan tidak membebankan/memvictimisasi korban. Sistem ini seperti: satu saksi dianggap saksi dengan didukung bukti lainnya, pemeriksaan dimungkinkan dengan tidak menghadirkan korban tetapi dengan sistem yang lebih ramah pada korban. Beban pembuktian ada pada penyidik dan pelaku bila menyangkal laporan korban;
  1. Bersandar pada hak korban yang meliputi pencegahan, penanganan, perlindungan pengadilan dan pemulihan secara komprehensif. Misalnya untuk penanganan dengan pendampingan psikis, hukum, ekonom dan sosial. Perlindungan meliputi: perlindungan dari ancaman para pelaku, keluarga dan kelompok atas kasus yang dilaporkan dan supaya kasus tidak berulang. Pemulihan ekonomi, fisik, sosial dan psikis. Hak ini tidak juga mencakup keluarga (khususnya jika korban adalah tulang punggung keluarga dan atau keluarga tidak mampu)
  2. Perubahan penting dalam hukum acara yang memudahkan dan memberikan akses keadilan bagi korban dengan mengindentifikasi kebutuhan korban sejak pelaporan, pendampingan dan koordinasi antar penegak hukum dan lintas layanan lainnya. Sistem pelayanan korban yang terkoordinasi di tingkat medis, psikis, dan hukum, termasuk di kepolisian, jaksa dan hakim. Dengan sistem ini mewajibkan aparat penegak hukum senantiasa mengindentifikasi kebutuhan korban dan memenuhi hak-hak korban
  3. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai lex specialis sangat berkepentingan melindungi korban dimana undang-undang pidana lainnya tidak mengatur mengenai hak dan kepentingan korban Kekerasan Seksual. Terlebih korban seksual adalah perempuan dan anak perempuan yang paling rentan mengalaminya. Melihat fakta-fakta Kekerasan Seksual yang sudah tidak bisa ditolerir lagi dan kasusnya terus meningkat, dimana RUU Penghapusan Kekerasan Seksual posisinya masih dalam list Prolegnas tambahan 2016
darurathamkomnas perempuankorbanruu penghapusan kekerasan seksual
Comments (0)
Add Comment