Ketika kami sekeluarga berlibur ke Bandung, ada pengalaman yang dapat dijadikan pelajaran berharga terkait dengan strategi pemasaran konvensional yang seharusnya dapat diterapkan dalam pemasaran modern.
Sore menjelang malam, kami sekeluarga berencana untuk mencoba wisata kuliner yang marak di Bandung.
Sepanjang jalan banyak yang menawarkan asessori dan kerajinan, namun saya tidak menggubrisnya. Ketika hendak memasuki sebuah restoran, tiba-tiba ada suara dari belakang saya, “Pak mau beli panah? Murah 20 ribu Rupiah”.
Kaki saya pun terhenti. Niat untuk masuk ke restoran pun otomatis juga terhenti sejenak. Saya menengok ke belakang untuk melihat seperti apa ‘panah’ yang dijajakan oleh penjualnya.
Kata ‘murah 20 ribu Rupiah’ itulah yang membuat saya bereaksi untuk melihat seperti apa murahnya ‘panah’ tersebut. Karena di pikiran saya sebuah kerajinan panah tentunya tidak dapat harga semurah itu.
Terlihat satu perangkat panah sumpit sebagai alat untuk memburu tradisional dengan 5 buah anah panah sumpitnya. Murah? Saya terus terang tidak tahu patokan harga untuk sebuah panah sumpit yang dibuat dari bambu tersebut. Tapi kesan mahal sepertinya hilang ketika melihatnya.
“Berapa ini?” tanya saya lagi setengah tidak percaya.
“Dua puluh ribu Pak,” ulang di penjual.
“Gak bisa kurang?” tanya saya mencoba menawar.
Tanpa disadari saya sudah merogoh kantong untuk mengeluarkan uang. Bahasa tubuh saya berkata kalau dengan harga segitu pun saya sudah ingin membelinya.
“Ini udah paling murah Pak, kalau mau yang ini aja panah yang besar,” seraya si penjual mengeluarkan sebuah panah besar dengan busur yang relatif besar dan 8 anak panah.
Kali ini bukan sekedar panah sumpit melainkan panah beneran dari bambu.
Belum saya menjawab si penjual kembali berkata, “Ini saya tambahin anak panahnya jadi 10 buah harganya 250 ribu Rupiah.”
Untuk kerajinan panah ini pun saya sama sekali tidak tahu apakah harga itu murah atau mahal. Namun, mind set yang ada dalam pikiran saya telah terbentuk, bahwa apa yang ditawarkan oleh si penjual ini harganya relatif murah dengan pengalaman pertama panah sumpit seharga Rp 20.000. Saya pun kemudian membeli juga panah besar tersebut.
Diawali dengan harga murah untuk kemudian menjual sesuatu yang mungkin tidak murah menjadi strategi pemasaran yang dapat merubah mind set konsumen mengenai arti kata murah.
Pengalih perhatian dengan kata murah, efektif diterapkan si penjual. Terlepas, saya ‘tertipu’ atau tidak dengan harga panah yang saya beli, tapi kesan murah sudah melekat ketika saya membelinya.
Saya pun tidak mau bertanya-tanya ke penjual yang lain berapa harga panah itu sebenarnya? Jangan-jangan kemahalan.
Penulis : Ali Tranghanda – Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch