Jakartakita.com – Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia, Faisal Yusra mengatakan, membentuk Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) baru adalah solusi untuk mewujudkan kedaulatan dan ketahanan energi.
“Kita mendorong terbentuknya kedaulatan pengelolaan migas Indonesia,” kata Faisal Yusra, di Jakarta, Jumat (17/6/2016).
“Ujung dari kedaulatan energi adalah ketahanan energi,” sambungnya.
Lebih lanjut dikatakan, di tengah fluktuasi harga minyak mentah, namun bauran energi Migas masih 45% sampai tahun 2025.
“Artinya, minyak masih strategis dalam kehidupan di Indonesia,” tegasnya.
Meskipun demikian, diakuinya cadangan migas yang dimiliki Indonesia semakin menipis. Untuk itu, lanjutnya, dalam memperkuat masalah ketahanan energi, maka kuncinya ada pada rancangan UU Migas yang kini tengah dalam proses revisi.
Ia pun mengaku tidak heran, bila dalam UU Migas, Pertamina disamakan dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (Kontraktor KKS) yang lain.
“Faktanya, Pertamina hanya menguasai 15% dari pertambangan migas Indonesia,” tegas Faisal Yusra.
Sementara itu, Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Noviandri juga menegaskan, bahwa carut marutnya industri hulu-hilir minyak dan gas bumi (migas) Indonesia berpangkal pada Undang-undang (UU) Migas.
“Karena itu, kami mendesak agar revisi UU Migas lebih mengakomodasi kepentingan nasional daripada kepentingan asing dan kelompok-kelompok tertentu,” tegas Noviandri.
Sementara itu, Arie Gumilar, Sekjen FSPPB mengusulkan lima hal dalam proses revisi UU Migas. “Yang paling utama, dalam konteks UU Migas secara menyeluruh, pengelolaan Migas harus berorientasi dan menerjemahkan amanat konstitusi UUD 45 Pasal 33 serta tata kelola Migas yang berorientasi pada kepentingan nasional,” tandas Arie. (Edi Triyono)