Jakartakita.com – Industri penerbangan global saat ini menghadapi berbagai rintangan sekaligus kesempatan. Berdasarkan Global CEO Survey dari PWC, para CEO maskapai penerbangan menilai tingkat gangguan dalam industri mereka lebih tinggi dari sektor-sektor lain. Tingkat gangguan ini disebabkan oleh lima hal – persaingan, teknologi, perilaku pelanggan, regulasi, dan saluran distribusi.
Di Indonesia, industri penerbangan berkembang sejalan dengan perkiraan dari International Air Transport Association (IATA) yang mewakili 260 maskapai penerbangan di seluruh dunia. IATA menyebutkan Indonesia akan menjadi salah satu dari lima pasar dengan pertumbuhan jumlah penumpang paling cepat per tahun pada tahun 2034.
“Kami berharap penumpang terus meningkat, tapi kami juga meramalkan akan adanya banyak tuntutan baru dari mereka. Agar maskapai kami tetap menjadi pilihan utama, maka kami perlu mengerti keinginan penumpang dan memenuhi kebutuhannya dengan pelayanan terbaik,” ungkap Achmad Royhan, Vice President of Information Technology di Citilink.
“Dalam sebuah pasar dimana persaingan berlangsung ketat dan margin keuntungan tipis, sangat penting bagi kami mewujudkan data yang ada menjadi insight yang ditindaklanjuti. Dengan demikian, kami dapat menciptakan arus pendapatan baru,” tambahnya.
Untuk mengadopsi pendekatan data yang lebih intensif, Citilink memerlukan infrastruktur IT yang dapat menyesuaikan dengan skala pertumbuhan penyimpanan data dan kebutuhan komputasi. Untuk itu, Royhan telah merintis perpindahan operasi sehari-hari dan data manajemen Citilink ke Microsoft Azure. Royhan mengalokasikan hampir seperlima dari anggaran IT Citilink untuk pengelolaan data, dan mengharapkan angka anggaran ini akan terus bertumbuh dari waktu ke waktu.
Perjalanan Kultur Data Citilink telah mendorongnya untuk menekankan penggunaan teknologi modern, pelatihan staf di seluruh lini, dan penyelarasan tim manajemen agar memiliki kesamaan visi – semua dilakukan agar dapat tetap relevan bagi pelanggan. Royhan mengakui bahwa industri penerbangan akan terus terganggu oleh berbagai kekuatan eksternal dan sedang merencanakan untuk lebih banyak menggunakan data ke depannya.
Ini sangat kontras dibandingkan dengan saat pertama kali Citilink berdiri di 2011 dimana Kultur Data masih belum dijalankan secara optimal. “Saat itu, kami mengandalkan spreadsheet Excel untuk mengompilasi dan menyerahkan data kepada para pengambil keputusan. Metode ini sangat berat dan lambat. Insight yang diperoleh sering kali terlambat disampaikan sehingga tidak bisa ditindaklanjuti, ” Royhan mengungkapkan.
Dalam memelihara dan mengembangkan kemampuan analisis karyawan Citilink, Royhan bersikeras bahwa seluruh lapisan karyawan harus dilengkapi dengan alat yang benar dan mudah digunakan. Untuk itu, Power Business Intelligent, seperangkat alat analisis bisnis, dimanfaatkan untuk mengimpor data dengan cepat dari berbagai sumber dan memungkinkan staf untuk menghasilkan laporan insight mendalam.
“Waktu antara memproses data sampai memperoleh insight telah dipersingkat secara signifikan, sebuah proses yang dahulu membutuhkan waktu berjam-jam, atau berhari-hari, kini menjadi tinggal sebentar saja,” ungkap Royhan. “Dengan data manajemen yang didukung oleh Microsoft Azure, insight dari pelanggan dapat diolah dan dibagikan hanya dalam beberapa menit ke seluruh tim,” Royhan menambahkan.
Citilink sebagai maskapai penerbangan bertarif murah dengan pertumbuhan paling cepat di Indonesia yakin dapat mengubah tantangan industri ini menjadi keuntungan bagi mereka, “Hanya dalam waktu kurang dari empat tahun sejak Citilink didirikan, kami telah jauh melangkah. Kami sekarang mengoperasikan armada yang terdiri atas 37 Airbus 320 dan lima Boeing 737, terbang ke 29 kota di Indonesia dan mengangkut lebih dari delapan juta penumpang setiap tahun. Kami melihat potensi pasar yang besar, dan dengan lebih daripada 230 bandara di seluruh Indonesia, kami baru saja mulai,” ungkap Royhan.