Jakartakita.com – Pemain sepakbola Korea Selatan, Park Chu- Young, perlahan membangun kembali reputasinya setelah salah memilih bergabung dengan Arsenal dibanding Lille pada tahun 2011.
Park tiba di Emirates saat berumur 26 tahun dengan status striker terbaik Korsel dan salah satu pencetak goal terbaik di Asia. Penerima gelar Pemain Muda Asia terbaik tahun 2004 itu berakhir dengan meninggalkan Arsenal hanya bermain selama tujuh menit untuk klub tersebut dan tidak berhasil mencetak gol, selamanya tercatat dengan kata “Gagal” oleh media di Inggris. Relasinya dengan tim nasional pun berlangsung dengan tidak baik saat itu.
Pada tahun 2015, Park kembali ke Seoul FC. Karier profesionalnya dimulai di klub ibukota Seoul itu pada tahun 2005, saat dirinya menjadi sensasi di Korea dan Asia, sebuah kondisi yang sebetulnya tidak menguntungkan karena Park tak mampu memenuhi berbagai harapan besar yang ada. Dengan kembali lagi ke Liga Korea, diharapkan dia bisa membangun kembali kariernya dan kembali mencoba untuk menikmati permainan sepakbola sekali lagi.
Tidak mudah mencetak goal di Liga Korea,.liga sepakbola ini adalah sebuah liga dimana pertahanan ditumakan, demikian juga serangan balik. Penyerang yang jempolan pun kadang kesulitan menghasilkan gol dengan keadaan tersebut.
Sebagai contoh Camilo Sanvezzo. Pesepakbola Brasil sempat menjadi bintang bersama Vancouver Whitecaps, memenangi penghargaan Golden Boot Major League Soccer (MLS) pada tahun 2013 dan selanjutnya pada 2014 bermain di Liga Meksiko menjadi top skor. Tetapi ketika kemudian bermain di Korsel, Sanvezzo gagal menghasilkan gol, hanya seorang penyerang asing yang datang dan keluar tanpa mencetak sebuah gol pun dalama tujuh pertandingan beruntun.
Mantan boss Whitecaps, Martin Renni, pindah ke Korsel tahun 2014 untuk melatih dan mengatakan bahwa Camilo bukanlah pemain yang buruk. “Dia tidak pernah mencetak gol di Korea tetapi sangat baik saat di MLS dan Meksiko. Dia adalah pemain yang hebat tetapi tidak pernah memperlihatkannya. Sama kasusnya seperti banyak striker asing, terkadang bisa menjadi sangat sulit untuk para penyerang untuk mencetak gol di liga ini,” ungkap Renni kepada ESPN Soccer.
Jika seorang striker dapat melewati torehan mencetak gol sebanyak 20 gol selama 38 pertandingan Liga Korea, maka dia dianggap telah menjadi seorang pemain jempolan. Pada tahun 2015 striker Seoul FC, Adriano, mencetak 18 gol untuk menjadi top skor, dengan striker lain tak ada yang mencetak lebih dari 15 gol.
Namun musim ini, ada sesuatu yang berbeda. Striker dengan catatan rasio gol per menit di Liga Korea adalah Park. Mantan pemain Arsenal tersebut telah mencetak gol setiap 115 menit, yang berarti enam gol dari enam pertandingan sebagai starter.
Seoul FC telah memulai musim ini dengan baik namun sempat mengalami lima laga tanpa kemenangan. Pelatih Choi Yong- Soo pergi tiba- tiba untuk melatih Jiangsu Suning di Liga Super Tiongkok pada Juni untuk digantikan oleh Hwang Sun- Hong (rival Choi untuk gelar sebagai pencetak gol terbaik di Korea.)
Namun Hwang sempat kesulitan saat mulai melatih Seoul FC. Adriano mendapat skorsing dan tidak bisa bermain untuk waktu yang cukup lama. Hwang lalu memberi kepercayaan kepada Park dan direspon dengan sempurna. Park bermain di sebagai second striker di belakang Dejan Damjanovic akhir pekan lalu dan mencetak gol penentu kemenangan.
Dengan skor 1-1 saat melawan Incheon United, Park mencetak gol spektakuler lewat tendangan kanon dari jarak 30 meter yang gagal diantisipasi sama sekali oleh kiper Cho Soo-Hyuk. Setelah mencetak gol Park tak melakukan perayaan dengan berlutut seperti pada biasanya.
Park menaruh bola didalam bajunya sebagai bentuk perayaan kepada dua rekan setimnya, Osmar Barba dan Shim Woo-Yeon. Istri mereka masing-masing baru saja melahirkan. Berlawanan dengan kepribadiannya yang pendiam di publik, Park terkenal penuh dengan senyuman bersama dengan rekan-rekannya di Seoul.
Gol Park merupakan sebuah gol yang diciptakan oleh seorang striker yang mempunyai kepercayaan diri tinggi. Apabila pemain lain yang mencetak gol dengan cara tersebut, maka akan banyak ulasan di media yang menyebutkan pemain tersebut layak bermain di tim nasional.
Namun tidak demikian dengan Park. Orang mungkin telah melihatnya sebagai seorang striker yang hebat di Liga Korea. Tapi pemain berusia 31 tahun tersebut harus terhalang ‘dosa-dosa’ masa lalunya.
Keputusan Park pada 2012 untuk menggunakan dalih izin tinggal saat masih bermain di Monaco untuk menunda keikutsertaannya mengikuti wajib militer selama satu dekade sangat kontroversial dan membuat banyak orang marah di Korsel. Ia sampai harus meminta maaf kepada publik saat kembali ke Seoul.
Dengan masalah tersebut dan karena jarang dimainkan di Arsenal, pemanggilannya untuk bergabung dengan timnas menjadi jarang terjadi sehingga ia hanya berperan kecil dalam kelolosan Korsel ke Piala Dunia 2014. Park dipanggil masuk timnas awal tahun 2014 oleh Hong Myung-Bo, pelatih Korsel saat itu, dan mencetak gol cantik dalam pertandingan melawan Yunani di Athena.
Tetapi kemudian Park bermain kurang baik di Piala Dunia 2014 di Brasil dan pada akhirnya dijadikan kambing hitam utama kegagalan Hong sebagai pelatih. Para pendukung melempari timnas dengan permen saat pulang dari Amerika Selatan untuk memperlihatkan kekecewaan mereka terhadap hasil Korsel di Piala Dunia 2014, yang hanya meraih satu poin dari tiga pertandingan grup.
Jika Park kembali bermain untuk timnas karena telah membuktikan masih memiliki kemampuan, namun tentu publik akan menanggapinya dengan kurang positif, mengingat masa lalu Park. Tentunya saat ini Park lebih baik menikmati saja permainan sepakbolanya, dengan merasakan kegembiraan mencetak gol kembali. (Bryan Christopher)