Jakartakita.com – Eksekusi mati jilid III bagi para terpidana mati kasus narkoba memasuki babak akhir setelah Kejaksaan Agung dibantu personel Satuan Brimob Polri menembak mati empat narapidana Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Jumat (29/7/ 2016) sekitar pukul 00.46 WIB.
Hingga menjelang detik akhir eksekusi mati, Kejaksaan Agung telah mengisolasi 14 terpidana mati bahkan 14 peti jenazah juga telah disiapkan, yang artinya mereka tinggal menunggu waktu tiga hari kemudian untuk dijemput tim jaksa eksekutor ke lapangan tembak.
Namun akhirnya, di Lapangan Tembak Tunggal Panaluan itu, Kejaksaan Agung baru mengeksekuasi mati Freddy Budiman (warga Indonesia), Seck Osmani (warga Senegal), Humprey Eijeke (warga Nigeria), dan Michael Titus (warga Nigeria).
Eksekusi mati kali ini sering disebut eksekusi jilid III karena sudah ketiga kalinya dilakukan semasa pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo.
Jika pada jilid III jumlah napi yang dieksekusi mati berjumlah empat orang, maka di jilid II (29 April 2015) berjumlah delapan orang dan jilid I (18 Januari 2015) sejumlah enam orang.
Menjelang eksekusi mati jilid II, terpidana mati Mary Jane Veloso (warga Filipina) lolos dari eksekusi di detik-detik akhir eksekusi mati dengan alasan masih ada proses hukum lain di negara asalnya, sedangkan di jilid III, sebanyak 10 terpidana mati lolos dari hadapan regu tembak.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Noor Rochmad belum menjelaskan alasan 10 orang ini lolos dari eksekusi mati. “Melalui kajian yang komprehensif,” kata Noor melalui pesan singkat yang diterima Antara di Jakarta, Jumat dinihari.
Sejumlah 10 terpidana mati termasuk Merry Utami yang dibawa dari Lapas Wanita Tangerang ke Nusakambangan dipastikan lolos dari eksekusi mati Jilid III karena para jaksa eksekutor telah meninggalkan Nusakambangan sekitar pukul 04.30 WIB. Selain itu, keempat jenazah terpidana mati juga telah dibawa keluar Nusakambangan.
Artinya, babak akhir eksekusi mati jilid III akan selesai dengan menembak mati empat dari 14 terpidana mati yang semuanya adalah bandar dan pengedar narkoba kelas kakap.
Salah satu napi yang lolos dari eksekusi mati jilid III adalah Zulfiqar Ali, warga negara Pakistan yang divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Tangerang, Banten pada 2005 atas kasus kepemilikan 300 gram heroin itu.
Menjelang eksekusi, dia justru sakit bahkan sempat dirawat di RSUD Cilacap sejak 16 Mei 2016 dan baru keluar dari rumah sakit pada Senin (25/7/2016) untuk menjalani isolasi jelang eksekusi mati. Pengacara Zulfiqar Ali, Saut Edward Rajagukguk mengatakan kliennya menderita sakit ginjal selama tujuh tahun lalu selain memiliki kadar gula tinggi.
Terpidana mati lain, Merry Utami, lolos karena diduga saat menjadi buruh migran di Hongkong, dia terjebak dalam jaringan narkoba.
Kendati Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menegaskan bahwa 14 terpidana mati adalah bandar dan pengedar narkotika yang tertangkap tangan oleh aparat penegak hukum dan bukan ditangkap karena ada pengembangan kasus lain namun akhirnya hanya empat terpidana yang dieksekusi mati dengan alasan masih perlu ada kajian yang komprehensif.
Gembong narkoba Freddy Budiman (37) akhirnya meregang nyawa lewat peluru penembak Brimob pada pelaksanaan eksekusi mati jilid III di Nusakambangan. Dia mendapatkan giliran pertama yang berhadapan dengan regu tembak.
Jejak kejahatan narkoba Freddy Budiman menjadi pusat perhatian saat seorang model majalah pria dewasa menceritakan Freddy mendapatkan ruangan mewah di LP Cipinang yang berujung pada pencopotan Kalapas Cipinang Thurman Hutapea.
Pria kelahiran Surabaya 19 Juli 1976 yang menjadi bandar narkoba kelas internasional itu divonis mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat terkait mengimpor 1.412.476 butir ekstasi dari Tiongkok pada Mei 2012.
Dia pernah ditangkap pada 2009 karena memiliki 500 gram sabu-sabu. Saat itu, divonis tiga tahun dan empat bulan.
Feddy kembali berurusan dengan aparat pada 2011. Saat itu, dia kedapatan memiliki ratusan gram sabu-sabu dan bahan pembuat ekstasi. Ia menjadi terpidana 18 tahun karena kasus narkoba di Sumatera dan menjalani masa tahanannya di Lapas Cipinang. Modus yang dilakukannya dengan memasukan ke dalam akuarium di truk kontainer. Jenazah Freddy Budiman akan dibawa ke kampung halamannya di Surabaya.
Terpidana mati yang dieksekusi usai Freddy adalah Humprey Ejike (40), warga negara Nigeria. Meski sudah berada di balik jeruji besi, dia masih mampu mengembalikan peredaran narkoba hingga ditangkap oleh Badan Narkotika Nasional (BNN). Dia ditangkap di Depok, Jawa Barat pada 2003 karena memiliki 1,7 kilogram heroin.
Meski menjadi penghuni penjara namun ia melakukan kembali aksi mengedarkan barang narkoba dan ditangkap oleh BNN pada November 2012. Jenazah Humprey Ejike akan dikremasi di Banyumas, Jawa Tengah.
Terpidana mati mati narkoba asal Nigeria, Michael Titus Igweh (34) juga dieksekusi mati setelah dua kali permohonan Peninjauan Kembali (PK) ditolak oleh Mahkamah Agung karena kasus heroin seberat 5,8 kilogram.
Pada 2011, dia mengajukan mengajukan PK namun ditolak. Saat menghuni Lapas Nusakambangan, dia mengajukan PK pada Januari 2016 yang persidangannya digelar di PN Tangerang, Banten, namun kembali ditolak karena tidak memiliki bukti baru. Jenazah Michael Titus Igweh akan dibawa ke Rumah Sakit PGI di Cikini, Jakarta Pusat untuk dipulangkan ke negara asalnya.
Sedangkan terpidana mati Seck Osmane (34), warga Senegal dieksekusi setelah divonis hukuman mati oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 21 Juli 2004. Osmane tertangkap tangan memiliki 2,4 kilogram heroin di salah satu apartemen di, Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Jenazah Sech Osmane akan dibawa ke Rumah Sakit Carolus, Jakarta Pusat untuk selanjutnya dipulangkan ke Senegal.