Jakartakita.com – Wacana akuisisi PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), anak usaha PT Pertamina (Persero) oleh PT PLN (Persero) berpotensi mematikan pengembangan energi baru terbarukan, khususnya di sektor panas bumi.
Abadi Purnomo, Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia mengatakan, jika terealisasi dampak yang ditimbulkan dari akuisisi PGE oleh PLN akan sangat luar biasa.
“Kita sudah susah payah mengembangkan panas bumi. Kalau benar-benar terealasi, ini akan mematikan itu semua,” tegas Abadi saat berbicara pada Diskusi Percepatan Pengembangan Energi Panas Bumi untuk Mendukung Realisasi Proyek 35 Ribu Megawatt yang digelar di Jakarta, Selasa (9/8/2016).
Menurut Abadi, sebagai suatu perusahaan yang memiliki fortofolio, tentunya akan memilih sektor yang memberikan margin yang lebih besar. Dengan memiliki pembangkit listrik yang lengkap, mulai dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap, hingga Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), PLN bisa jadi akan menghentikan pembangkit yang memberikan margin yang rendah.
Selain itu, lanjut Abadi, perusahaan-perusahaan yang tertarik di bisnis panas bumi, sebagian besar adalah perusahaan minyak karena memiliki kesesuaian karakter dan kompetensinya di sektor hulu.
Sementara itu, Yunus Saifulhak, Direktur Panas Bumi Direktorat Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan, rencana akuisisi PGE oleh PLN bukan hal yang mudah untuk direalisasikan. Apalagi yang memiliki kemampuan dalam pengembangan panas bumi adalah Pertamina.
“Tapi tentu itu domain Kementerian BUMN. Concern kami adalah bagaimana eksplorasi dipercepat sehingga panas bumi bisa berkembang,” tegas dia.
Tidak hanya itu, ia juga menyoroti lemahnya pengelolaan PLTP oleh PLN selama ini.
PLTP Kamojang Unit 1 yang dibangun pada 1992 selama ini hanya memasok uap ke PT Indonesia Power, anak usaha PLN. Namun, jika di luar negeri, PLTP yang sudah berusia 40-50 tahun masih beroperasi dengan baik, PLTP Kamojang Unit 1 justru saat ini dalam keadaan rusak. Selain itu, PLTP Lahendong Unit 1 yang dioperasikan PLN juga dalam keadaan rusak. Itu semua hanya karena pengurangan biaya operasi.
“PLN juga mempunyai dua wilayah kerja panas bumi (WKP), namun juga tidak jalan. Jadi kemudian timbul pertanyaan, kenapa PLN begitu bernafsu mengambil Chevron dan PGE,” kata dia.
Adapun Komaidi Notonegoro, Pengamat Energi dari Reforminer Institute mengatakan, dari total jatah PLN pada proyek pembangkit 35 ribu MW sebesar 25-30%, yang belum terkontrak mencapai 70%. Bahkan, dari 30% yang sudah memiliki kontrak, hanya beberapa di antaranya yang sudah beroperasi (commercial operation data/COD).
“Jadi susah dimengerti keinginan PLN yang mau mengakuisisi Chevron dan PGE,” tandasnya.