Jakartakita.com – Tujuh puluh satu tahun kemerdekaan RI, bukan waktu yang mudah dilewati, khususnya bagi mereka yang hak-hak konstitusionalnya masih diabaikan, tercerabut, bahkan dihilangkan. Belum terlihat upaya nyata dan sungguh-sungguh dari penyelengara negara untuk memastikan terpenuhinya hak konstitusional seluruh warga negara Indonesia sebagai wujud dari upaya menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Komnas Perempuan menyayangkan, pemerintah dan pemerintah daerah yang seharusnya tegak berdiri di atas Konstitusi, tetapi terlibat dalam tindakan inkonstitusional, bahkan menggunakan kekuasaan untuk melegitimasi tindakan inkonstitusional, melalui kebijakan yang dikeluarkan. Komnas Perempuan menyesalkan dari 3.134 peraturan daerah (perda) yang dibatalkan Menteri Dalam Negeri pada Juni 2016, seluruhnya berkaitan dengan investasi dan perizinan, tidak satupun kebijakan yang diskriminatif.
Keragu-raguan Menteri Dalam Negeri menggunakan mekanisme pembatalan (yang disediakan oleh Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah) terhadap peraturan daerah yang diskriminatif atas dasar agama, keyakinan/kepercayaan dan gender, menunjukkan ‘kegamangan’ pemerintah dalam melihat tindakan-tindakan inskonstitusional, sehingga ragu memperjuangkan konstitusi sebagai mandat yang diemban.
Situasi ini harus segera diakhiri, pemerintah perlu mempelajari dengan baik dampak panjang (nasib bangsa kedepan), jika kebijakan-kebijakan diskriminatif ini masih terus mendapatkan legimitasi. Negara perlu menyadari keruntuhan bangsa dimulai dari runtuhnya rasa keadilan yang seharusnya diberikan bagi seluruh warga negara, sebagaimana yang telah dijamin dalam konstitusi. Bangsa ini bisa terus menuju pada kehancuran jika kebhinekaan yang menjadi jatidiri bangsa terus dihadap-hadapkan dengan pemaksaan penyeragaman, baik yang dilakukan oleh kelompok masyarakat ataupun dilembagakan oleh negara.
Komnas Perempuan akan terus melakukan pendokumentasian terhadap kebijakan diskriminatif dan kondusif baik di tingkat nasional maupun daerah, untuk menemukan pola dan kecenderungan penggerusan hak konstitusional warga, khususnya perempuan. Dokumentasi ini akan digunakan sebagai alat untuk terus mendorong pemerintah memberikan perhatian serius terhadap persoalan kebijakan diskriminatif atas dasar agama, keyakinan/kepercayaan dan gender, serta melakukan perbaikan atas dampak yang ditimbulkan.
Dalam setahun terakhir, Komnas Perempuan mencatat, meskipun ada upaya pembinaan dari Kementerian Dalam Negeri melalui klarifikasi kebijakan kepada pemerintah daerah, namun pemerintah masih belum terlihat tegas dalam memberikan kepastian hukum atas berlakunya kebijakan diskriminatif tersebut. Komnas Perempuan mencatat per Agustus 2016 ada 33 Kebijakan diskriminatif yang didokumentasikan dengan rincian sebagai berikut:
– Kebijakan yang diterbitkan tahun 2016 (12 kebijakan), tahun 2015 (15 kebijakan), dan 6 kebijakan diterbitkan tahun 2010-2014.
– Kebijakan ini tersebar di 17 kabupaten, 7 kota, 8 provinsi dan 1 ditingkat nasional. 16 kebijakan (53%) berbentuk peraturan daerah.
– Kategori kebijakan antara lain, mengatur kriminalisasi (18 kebijakan), moralitas dan agama 12 kebijakan, dan pengaturan kontrol tubuh sebanyak 3 kebijakan.
– Jumlah keseluruhan kebijakan diskriminatif sejak tahun 2009-2016, menjadi 421 kebijakan.
Kriminalisasi masih menjadi pola umum dalam pengaturan terkait ketertiban umum. Tidak adanya batasan yang jelas mengenai ruang lingkup ketertiban umum, menyebabkan setiap daerah memiliki definisinya sendiri tentang ketertiban.
Ketertiban umum dipahami sejak dari aturan lalu lintas, kegiatan usaha, administrasi kependudukan, pornografi, sampai dengan penyelenggaraan ibadah. Melalui kebijakan ini pemerintah daerah bisa mengkriminalkan tindakan yang seharusnya dijamin oleh konstitusi. Misalnya, hak berkumpul dianggap sebagai tindakan asusila, jaminan perlindungan rasa aman (karena adanya pengabaian terhadap asas praduga tidak bersalah), serta rumusan yang multi tafsir.
Temuan Komnas Perempuan juga memperlihatkan, pemerintah daerah masih gemar mengeluarkan kebijakan yang mengutamakan simbolisasi agama, sehingga ada kebijakan yang secara langsung membatasi dan mengabaikan pemenuhan hak-hak konstitusional warga. Misalnya, membatasi hak kelompok waria untuk bekerja, pekerja seni mencari nafkah, bahkan mempidanakan orang yang ingin pindah agama.
Di sisi lain, Komnas Perempuan mengapresiasi upaya pemerintah daerah dalam memberikan perlindungan pada perempuan dari tindak kekerasan melalui kebijakan kondusif. Dalam setahun terakhir ada 48 kebijakan kondusif yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, yang mengatur perlindungan perempuan, pengarusutamaan gender dan lembaga layanan bagi perempuan korban kekerasan (P2TP2A).
Dengan demikian sepanjang tahun 2009 sampai dengan tahun 2016 ada 349 kebijakan yang kondusif. Kebijakan tersebut tersebar di 19 Kabupaten, 10 kota, dan 19 Provinsi. Sebagian besar sebanyak 19 Kebijakan bertemakan tentang perlindungan perempuan. 25 Kebijakan (25%) berbentuk Peraturan Daerah.
Namun demikian, Komnas Perempuan juga menemukan ada perda yang cukup kondusif dalam mengatur pemenuhan hak masyarakat, namun ada rumusan/pasal tertentu yang diskriminatif. Misalnya dengan menyebutkan salah satu jenis penyakit sebagai dasar diskriminasi, bahkan memberikan stigma pada kelompok yang seharusnya diberikan perlindungan.
Atas fakta dan persoalan di atas, Komnas Perempuan merekomendasikan:
1. Presiden RI segera mengambil langkah konkrit untuk memastikan terpenuhinya hak-hak konstitusional bagi warga negara yang mengalami diskriminasi melalui kebijakan pemerintah
2. Menteri Dalam Negeri menjalankan secara sungguh-sunggu mandat UU Nomor 23 Tahun 2014 terkait mekanisme pembatalan peraturan perundang-undangan, dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, serta meningkatkan pembinaan kepada pemerintah daerah untuk memastikan perbaikan regulasi di tingkat daerah
3. Pemerintah daerah melakukan perbaikan pada kebijakan yang mengandung diskriminasi gender, agama, keyakinan dan kepercayaan
4. Pemerintah daerah memastikan kebijakan daerah sesuai/sejalan dengan hukum nasional