Upaya pemerintah untuk menggenjot pembangunan infrastruktur menghadapi kendala dalam pembiayaan. Kondisi penerimaan pemerintah yang belum mendukung kebutuhan belanja infrastruktur merupakan sumber permasalahan utama.
Untuk menutup kesenjangan penerimaan dan belanja yang dibutuhkan, menghadapkan pemerintah pada opsi memperbesar utang negara.
Namun, opsi ini bukan tanpa risiko, sebab utang suatu negara yang relatif besar akan membuat negara rentan terhadap gangguan ekonomi global yang dapat berujung pada instabilitas politik dan keamanan.
Selain itu, pada esensinya utang saat ini berarti peningkatan pajak di masa depan sehingga membebankan generasi mendatang.
Opsi lain yang dapat dilakukan yang bersifat Non-APBN adalah kerjasama dengan pihak swasta dalam pembangunan infrastruktur atau sering Public-Private Partnership (PPP).
Lewat kerjasama ini dapat mengurangi beban pembiayaan pemerintah sebab pihak swasta akan menanggung pembiayaan sebagian atau seluruh proyek yang direncanakan dan menanggung risiko atas pembiayaan tersebut. Sebagai kompensasinya, swasta akan menerima keuntungan dengan beroperasinya infrastruktur tersebut.
Saat ini, peran PPP dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia masih sangat terbatas. Isu yang terkait dengan kerjasama PPP adalah kurangnya keyakinan pihak swasta atas pengembalian modal sehubungan dengan prospek pemanfaatan infrastruktur yang dibangun dan kepastian usaha.
Kurangnya partisipasi swasta dalam program PPP merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur. Tantangan tersebut, dalam bentuk bagaimana meyakinkan swasta tentang keamanan serta pengembalian atas investasi tersebut.
Tantangan lainnya adalah, menetapkan jenis dan lokasi infrastruktur yang menarik secara ekonomi serta memelihara lingkungan usaha yang kondusif.
Dengan adanya serangkaian demo akhir-akhir ini dapat berpengaruh terhadap minat swasta untuk kerjasama PPP. Selain itu, mudahnya pemerintah dan DPR mengubah undang-undang dapat mengancam kepastian usaha. Sebagai contoh, yaitu persoalan reklamasi pantai yang menjadi tidak pasti karena perubahan aturan.
Untuk menjawab tantangan dalam pengembangan kerjasama PPP di bidang infrastruktur, maka serangkaian strategi perlu dijalankan pemerintah.
Pertama, melakukan revisi aturan kerjasama PPP dengan: (1) membuat aturan PPP menjadi aturan yang hirarkinya relatif tinggi dalam struktur peraturan perundangan agar tidak mudah diganti oleh pemerintah ke depan yang mempunyai agenda-agenda khusus; (2) memasukan klausul perpanjangan kerjasama apabila pihak swasta belum mendapatkan pengembalian yang diharapkan saat berakhirnya perjanjian; dan (3) memasukan klausul yang menghindarkan pemerintah dari penyanderaan atas pendapatan dalam jangka panjang terkait berakhirnya masa perjanjian kerjasama.
Kedua, pemerintah perlu melakukan pemetaan yang baik atas infrastruktur yang menguntungkan dan kemudian dimanifestasikan dalam proposal yang menarik. Hal tersebut akan memperjelas potensi keuntungan dan risiko yang bakal dihadapi swasta sehingga mereka dapat membuat keputusan yang cepat dan tepat dalam tawaran kerjasama PPP.
Ketiga, perlunya sinkronisasi antara infrastruktur yang akan dibangun lewat kerjasama PPP dengan infrastruktur yang telah ada atau yang akan dibangun pemerintah. Ini dimaksudkan agar terjadi optimalisasi dalam penggunakan infrastruktur yang dapat menghasilkan keuntungan bagi swasta dan pelayanan publik yang semakin berkualitas.
Keempat, menyediakan insentif lainnya kepada pihak swasta, diantaranya tax holiday. Namun demikian, insentif seperti itu diatur hanya dalam jangka waktu terbatas. Pembatasan waktu tersebut penting agar pendapatan pemerintah di masa depan menjadi maksimal, tidak lagi harus menanggung tax holiday ataupun insentif lainnya.
Kelima, menetapkan aturan yang lebih jelas dan tegas dalam penegakannya mengenai pemanfaatan lahan untuk pembangunan infrastruktur. Di samping itu, pemerintah perlu meminimalisasi gangguan-gangguan dalam pembangunan infrastruktur yang dilakukan oknum-oknum yang memobilisasi massa ataupun pungli oleh oknum-oknum pejabat.
Lewat strategi yang baik, maka diharapkan kerjasama PPP dapat berjalan dengan baik dan semakin banyak pihak swasta tertarik untuk terlibat. Dalam konteks ini, pemerintah perlu memprioritaskan pihak swasta dalam negeri agar menghindari tekanan dari negara asing terkait investasi perusahaan-perusahaan mereka di Indonesia.
Bila kerjasama PPP dapat berkembang, maka pemerintah dapat menghemat anggaran infrastruktur dan penghematan tersebut dapat disalurkan ke pembangunan infrastruktur di daerah-daerah yang tertinggal.***
Penulis : Agus Tony Poputra, Staf Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sam Ratulangi Manado