Jakartakita.com – Kisruh pajak air permukaan (PAP) antara PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) dengan Pemprov Sumatera Utara belum menemukan titik temu. Apalagi pajak terhadap PT Inalum dianggap tidak adil karena jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pajak yang dikenakan ke Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Ditanya soal persoalan ini, Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati tidak memberikan banyak komentar. Hanya saja, ia menyatakan akan mempelajari terlebih dahulu, mengingat persoalan pajak merupakan persoalan krusial bagi negeri ini.
“Kisruh pajak Inalum? Nanti saya pelajari dulu”, kata Sri Mulyani beberapa saat setelah menjadi pembicara dalam acara d’preneur Anak Muda dan Prospek Ekonomi 2017 di ICE Palace Lotte Shopping Avenue, Jakarta, Rabu (21/12/2016) lalu.
Sri Mulyani akan melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait soal PAP yang dibebankan kepada Inalum.
“Ya, nanti saya pelajari dan kita akan koordinasikan dengan pihak-pihak terkait,” katanya.
Namun, Sri Mulyani enggan menanggapi lebih jauh terkait dengan “ketidakadilan Pemprov Sumut” dalam menentukan besaran pajak terhadap PT Inalum dengan PLN.
Dihubungi terpisah, anggota Komisi XI DPR RI, Misbakhun, mengapresiasi kesiapan Sri Mulyani untuk mempelajari persoalan ini.
Ia pun mengaku akan mendalami lebih jauh mengingat kisruh PAP antara Pemprov Sumut dengan Inalum ini sudah berlangsung lama.
“Bagus jika Bu Sri mau mempelajari, nanti saya pelajari lagi,” kata Misbakhun, Kamis (22/12).
Namun begitu, Misbakhun mempertanyakan adanya Perda yang dikeluarkan Pemprov Sumut terkait pajak air permukaan. Pasalnya, jelas dia, saat ini Undang Undang yang membahas soal air permukaan sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
“Kalau yang mengenakan Pemprov, itu pajak daerah. Dasar dari pajak daerah atas air itu kan UU Sumber Daya Air, di mana di situ dikenal air permukaan dan air yang di dalam. Itu semuanya sudah dibatalkan oleh MK, semuanya, satu UU,” jelas Misbakhun.
Oleh karenanya, lanjut dia, pemberlakuan pajak air permukaan (PAP) sudah tidak memiliki dasar yang kuat.
“Sekarang yang tertinggal, tinggal UU tentang Irigasi tahun 1973 dan 1974. Jadi pajak regulasi tentang air itu sudah tidak ada dasar,” jelasnya.
Lebih lanjut, Politikus Golkar ini menjelaskan bahwa pajak yang diterapkan terhadap obyek pajak harus memiliki dasar pijakan yang kuat. Pemprov Sumut tidak boleh semena-mena, karena dasarnya sudah dibatalkan oleh MK.
“Soal Perda sudah batal atau belum, dasar pijakan sudah dibatalkan sama MK. Jadi pajak itu harus ada dasar, dasar UU-nya apa, dan dasar pungutannya apa,” ujarnya.
Ditanya mengenai konflik antara Pemprov Sumut dengan PT Inalum soal PAP, Misbakhun menjawab lebih rinci.
“Kalau sudah masuk dan sudah berproses di pengadilan, biar nanti pengadilan pajak yang memutuskan,” ujarnya.
“Dan sudah sepantasnya aparat terkait benar-benar memperlakukannya secara adil dan patut” tambahnya.
Sementara itu, Pengamat persoalan Inalum Vs Pemprov Sumut, Fitri D Sentana mengatakan, kalau BUMN yang baru diambil alih dari PMA ini ingin benar-benar tetap eksis sebagai kebanggaan Bangsa, maka sebaiknya ikuti saja apa yang disarankan oleh BPKP sebagai acuan kedua belah pihak atau dicari win-win solution ketimbang saling ngotot di ranah hukum.
“Rasanya kalo kedua belah pihak benar-benar melihat kepentingan Bangsa tidak sepantasnya bergelut di ranah hukum berkepanjangan. Jadikanlah hukum sebagai solusi terakhir supaya perselisihan ini tidak berkepanjangan dan kedua belah pihak bisa segera menikmati manfaat kerjasamanya antara perusahaan Inalum dengan Pemprov Sumut,” tandasnya. (Edi Triyono)