Jakartakita.com – Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) membantah tentang kenaikan biaya sewa 100 persen dan kenaikan biaya service charge (biaya pelayanan) sampai 30 persen, di pusat perbelanjaan di Indonesia, seperti yang dilontarkan Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo).
“Tidak benar telah ada kenaikan harga sewa dan service charge sebesar itu. Ini kebohongan publik, dan tidak bisa dipertanggungjawabkan,” ucap Ketua Umum DPP APPBI, A. Stefanus Ridwan saat di temui Jakartakita.com di Jakarta, Selasa (24/01/2017).
Dijelaskan, APPBI telah melakukan investigasi secara detail terhadap DPD APPBI dan DPC APPBI di seluruh Indonesia, ternyata kenaikan tersebut tidak benar. Hasil investigasi menunjukkan, kenaikan harga sewa dan biaya servis tidak seperti yang dikemukakan Hippindo.
“Dari data-data yang kami kumpulkan dari anggota, ternyata malah banyak service charge yang tidak naik pada awal 2017 ini. Sebagian naik karena adanya kenaikan UMR dan inflasi sebesar 3 persen hingga 5 persen. Contohnya, pusat belanja yang dibangun dan dikelola Pakuwon Group di Jakarta dan Surabaya, tidak naik,” tutur Stefanus.
“Itu pun dengan alasan sudah lama tidak naik, dan beberapa di antaranya berada di ambang minimal Rp 25.000 per meter persegi per bulan,” sambungnya.
Meskipun demikian, diakuinya, beberapa pusat belanja di daerah luar Jakarta, ada yang menaikkan biaya servis di atas 5 persen, itupun kebanyakan service charge-nya sangat rendah jauh di atas rata-rata, sehingga walaupun dinaikkan lebih dari 5 persen tetap saja jauh di atas rata-rata, seperti di daerah Pekanbaru, dan Riau.
Sementara itu, Ellen Hidayat selaku Ketua DPD APPBI DKI Jakarta mengatakan, bahwa pusat belanja berkewajiban untuk menciptakan kondisi usaha yang sehat dan adil bagi semua pemangku kepentingan termasuk penggelola pusat belanja, untuk menaikkan biaya sewa, dan servis, banyak pertimbangannya. Hal itu, kata dia, tidak bisa dilakukan sembarangan, karena sangat mempengaruhi operasional maupun pelayanan di pusat belanja, kemampuan penyewa dan harga barang di pusat belanja.
“Ada komponennya, termasuk kenaikan upah minimum provinsi (UMP), tarif dasar listrik, perubahan kurs mata uang, biaya operasional dan lain-lain. Selain itu, tarif sewa dan biaya servis terikat dengan lease agreement yang umumnya berlangsung selama 5 tahun,” terang dia.
Ditambahkan, pengelola pusat belanja tidak bisa semena-mena menaikkan tarif sewa dan biaya servis tanpa kesepakatan dengan peritel.
“Kami tidak bisa mengubah kesepakatan yang rata-rata berlaku selama lima tahun tersebut, hingga jatuh tempo,” tutur Ellen.
Adapun Roy N Mandey selaku Ketua Umum DPP Aprindo mengatakan, secara prinsip, peritel dan pengelola pusat belanja tidak bisa berjalan sendiri-sendiri.
“Baik peritel maupun pengelola pusat belanja harus saling menghormati satu sama lain atas dasar kompromi untuk sepakat, dan selalu sepakat,” kata dia.
Aprindo, tambah dia, pada prinsipnya mendukung aktivitas business to business (B2B) yang bebas intervensi dari pihak mana pun termasuk pemerintah.
“Pemerintah hanya berperan sebagai regulator saja yang menjaga iklim bisnis agar tetap kondusif,” tandas dia.