Jakartakita.com – Pada Rabu, 22 Maret 2017 lalu di Jakarta, Asosiasi FinTech Indonesia (AFTECH) menyelenggarakan media briefing yang mengangkat topik pembahasan terkait harapan pelaku usaha fintech terhadap tindak lanjut Peraturan OJK (P.OJK) Nomor 77/POJK.1/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) pada Desember 2016 lalu.
Mereka mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator untuk lebih serius menunjukkan komitmennya dalam membangun industri teknologi finansial (tekfin) khususnya usaha p2p (peer-to-peer) lending atau kegiatan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi.
“Pelaku usaha fintech mengharapkan realisasi komitmen regulator menyusul dikeluarkannya Peraturan OJK (P.OJK) Nomor 77/POJK.1/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) pada Desember 2016 lalu,” ujar Wakil Ketua Asosiasi FinTech Indonesia (AFTECH Indonesia), Adrian Gunadi.
Dijelaskan, setelah tiga bulan sejak dikeluarkannya P.OJK No. 77 tersebut, namun belum tampak perkembangan signifikan dalam hal jumlah perusahaan tekfin yang mendapatkan izin usaha dari OJK. Sebaliknya, banyak perusahaan tekfin yang menemui kesulitan dalam mendapatkan informasi yang jelas seputar teknis pendaftaran p2p lending di OJK.
“Situasi ini menyulitkan para pelaku usaha dan berimbas pada kinerja perusahaan. Padahal animo masyarakat terhadap bisnis fintech p2p lending sangat besar. Hal ini terbukti dari tingginya ekspektasi masyarakat untuk dapat menggunakan layanan pinjam meminjam dari perusahaan tekfin yang lebih dulu telah terdaftar di OJK,” jelas Adrian.
“Kami mengharapkan respon yang lebih serius dari OJK dalam perannya sebagai regulator, agar mampu menciptakan ekosistem industri yang lebih kondusif bagi pertumbuhan pasar,” sambungnya.
Lebih lanjut diungkapkan, per Maret 2017, baru tercatat sebanyak 27 perusahaan tekfin dengan skema p2p lending dan crowdfunding yang telah mendaftarkan diri untuk menjadi badan usaha. Dari jumlah tersebut, hampir seluruhnya hanya menerima tanda bukti terima dokumen pendaftaran saja tetapi belum menerima surat keterangan telah mendaftar.
Hal ini tentu menjadi penghambat bagi proses pengajuan perizinan usaha selanjutnya. Perusahaan-perusahaan tersebut juga kini sedang berusaha memenuhi aturan minimum permodalan yang ditetapkan regulator, yakni Rp 2,5 miliar untuk mengajukan perizinan. Saat mendaftar, perusahaan diwajibkan memiliki modal disetor minimal Rp 1 miliar untuk perusahaan tekfin yang berbadan hukum perseroan, maupun koperasi.
Sementara, pertumbuhan industri tekfin dengan skema p2p lending tumbuh dengan pesat di Indonesia saat ini.
AFTECH Indonesia sendiri memetakan sedikitnya 157 perusahaan start-up fintech yang saat ini beroperasi dengan aktif di Indonesia, dengan nilai transaksi mencapai 18,64 miliar dollar AS (menurut data Riset Statista).
Dari total jumlah pelaku tersebut, sektor pinjaman dan pembiayaan personal mencapai 25% dan diprediksi untuk terus tumbuh sejalan dengan potensi pasar yang masih besar.
“Banyak tindak lanjut koordinasi yang mendesak untuk direalisasikan, seperti perlunya pembentukan lembaga pengawas fintech di OJK yang khusus mengawasi jalannya usaha p2p lending; mendesaknya koordinasi dan sinergi OJK dengan kementerian/lembaga negara terkait, seperti misalnya dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi sehubungan dengan bukti kesiapan operasional yang harus dipenuhi pelaku usaha; perlunya kejelasan sejumlah prosedur kerja seperti standar implementasi Know Your Customer (KYC) secara digital, sertifikasi digital untuk tanda tangan elektronik, serta tata cara pendaftaran perusahaan ke OJK,” tandas Ketua Bidang P2P Lending AFTECH Indonesia, Reynold Wijaya.