Jakartakita.com – Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), berkomitmen untuk terus mengembangkan teknologi nuklir untuk kesehatan (radiofarmaka).
Pasalnya, potensi pasar produk-produk radiofarmaka secara global cukup besar, yakni sekitar US$ 5 milyar. Pasar produk radiofarmaka tersebut, diprediksi akan bertumbuh sekitar 9% dalam 5 tahun ke depan.
Besarnya pasar global radiofarmaka ini diharapkan dapat menjadi peluang Indonesia untuk dapat mengekspor produk radiofarmaka ke luar negeri, khususnya ke negara negara di kawasan Asia Tenggara sebagai langkah awal.
Kepala Bidang Pusat Teknologi Radioisotop dan Radiofarmaka (PTRR), Rohadi Awaludin mengatakan, ketersediaan produk radiofarmaka dapat menjadi alternatif atau bahkan menjadi pilihan terbaik untuk kebutuhan diagnosa dan pengobatan beberapa jenis penyakit, yang saat ini masih belum memuaskan hasilnya dengan menggunakan pengobatan produk farmasi biasa (non radiofarmaka).
“Oleh karena itu, menjadi sangat penting peran PTRR dalam berkontribusi untuk mengatasi permasalahan kesehatan di Indonesia,” ujarnya di Jakarta, baru-baru ini.
Rohadi menambahkan, PTRR BATAN merupakan satu-satunya lembaga pemerintah di lndonesia yang diberi kewenangan untuk mengembangkan dan menyediakan produk-produk radiofarmaka.
“Untuk menunjang tercapainya tujuan tersebut, PTRR sudah mendapatkan sertifikasi Sistem Mutu Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dari Badan POM. Bekerja sama dengan PT. Kimia Farma, PTRR telah menghasilkan produk radiofarmaka yang dapat digunakan untuk kebutuhan diagnosis dan terapi medis,” tuturnya.
Di kesempatan yang sama, Kepala BATAN, Djarot Sulistio Wisnubroto mengungkapkan, teknologi nuklir untuk kesehatan merupakan sesuatu yang unik dari sudut pandang persepsi publik. Dalam arti, ketika sebagian masyarakat takut terhadap pemanfaatan nuklir untuk energi, pengawetan makanan, atau aplikasi lainnya, namun dalam bidang terapi dan diagnosis penyakit, teknologi nuklir jauh lebih mudah diterima.
Menurut Djarot, yang menjadi ironi adalah, tidak banyak rumah sakit di Indonesia yang mempunyai kemampuan menggunakan teknologi nuklir untuk kesehatan, dibanding jumlah penduduk yang luar biasa besar.
”Mungkin kita sering mendengar bahwa sebagian masyarakat mampu justru pergi ke rumah sakit di luar negeri untuk pengobatan yang sejatinya bangsa kita sendiri bisa menanganinya. BATAN tidak menawarkan suatu teknologi baru dalam kesehatan, karena produksi radioisotop & radiofarmaka sudah dimulai beberapa dekade lalu. Namun sebagai lembaga litbang nuklir, BATAN tidak akan pernah berhenti meneriakkan dan mempromosikan bahwa Indonesia berpotensi mandiri dalam teknologi nuklir untuk kesehatan, khususnya produksi radioisotop & radiofarmaka,” tandasnya. (Edi Triyono)