Jakartakita.com – Studi global terbaru menemukan adanya kesenjangan yang sangat besar terhadap akses dan kualitas pelayanan kesehatan di masing-masing negara, juga dibandingkan dengan negara lainnya, sehingga akhirnya disimpulkan bahwa banyak orang meninggal karena sebab-sebab dan cara perawatan yang sebetulnya sudah diketahui.
Indonesia sendiri, telah menunjukkan peningkatan dalam penanganan kesehatan dalam 25 tahun terakhir, hingga ratingnya meningkat dari 37 di tahun 1990 menjadi hampir 49 di tahun 2015.
Rating ini didasarkan pada index 0 hingga 100, berdasarkan riset yang dipublikasikan oleh The Lancet, sebuah jurnal kesehatan internasional.
Menurut riset tersebut, sistem pelayanan kesehatan di Indonesia saat ini berada di peringkat tinggi, dalam menangani penyakit-penyakit umum yang dapat dicegah melalui vaksinasi, seperti difteri (skor 98), seperti juga testicular (skor 94). Namun demikian, dalam beberapa kategori lainnya, Indonesia menduduki peringkat lebih rendah, seperti penyakit pembuluh darah di otak dan tuberkulosa (keduanya mencatat skor 27).
Studi ini merupakan upaya awal yang dilakukan untuk menilai akses dan kualitas layanan kesehatan di 195 negara. Para peneliti menggunakan Indeks Healthcare Access and Quality (HAQ), yang didasarkan pada angka kematian yang disebabkan oleh 32 penyebab yang dapat dihindari oleh pelayanan kesehatan yang efektif dan tepat waktu, yang dikenal sebagai “AMENABLE MORTALITY” atau Angka Kematian oleh Penyebab yang Sebetulnya Diketahui Cara Penanganannya.
Adapun negara dengan rating tertinggi adalah Andorra dengan nilai keseluruhan mencapai 95; skor terendah yang tercatat adalah untuk penanganan hodgkin’s lymphoma di angka 70. Sedangkan rating terendah adalah Republik Afrika Tengah yang tercatat hanya 29; skor tertinggi mereka adalah dalam hal penanganan difteri yang mencatat skor 65.
“Yang kami temukan mengenai akses dan kualitas pelayanan kesehatan ini, sangat memprihatinkan,” ucap Dr. Christopher Murray, peneliti senior yang juga sebagai Direktur dari Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) di University of Washington, dalam siaran pers yang diterima Jakartakita.com, baru-baru ini.
“Negara-negara dengan ekonomi yang kuat tidak menjamin tersedianya pelayanan kesehatan yang baik. Demikian juga halnya, dengan keberadaan teknologi kesehatan yang unggul. Kami mengetahui hal ini, karena orang-orang tidak memperoleh pelayanan kesehatan secara prima yang seharusnya bisa mereka terima,” sambungnya.
Sebagai contoh, jelas dia, Norwegia dan Australia, masing-masing secara umum mencatat skor 90, di antara negara-negara dengan skor tinggi lainnya. Akan tetapi, Norwegia mencatat skor 65 dalam hal perawatan kanker testis, dan Australia mencatat skor 52 dalam hal perawatan kanker kulit non-melanoma.
“Dalam kebanyakan kasus, kedua jenis kanker tersebut dapat dirawat dengan efektif,” lanjut Dr. Murray.
“Tidakkah itu seharusnya menjadi perhatian kita semua, mengapa orang-orang dengan penyakit tersebut meninggal di negara-negara yang memiliki sumber daya dan kemampuan untuk menanganinya?” tanyanya.
Lebih lanjut diungkapkan, penilaian didasarkan pada estimasi dari studi tahunan Global Burden of Diseases, Injuries and Risk Factors (GBD), sebuah penelitian yang sistematik dan keilmuan yang dilakukan untuk menghitung dampak dari kerugian yang disebabkan oleh masalah kesehatan dari berbagai penyakit, kecelakaan dan faktor resiko lainnya, berdasarkan jenis kelamin, usia dan populasi. Dibantu oleh lebih dari 2.300 peneliti dari 133 negara, GBD meneliti 300 lebih penyakit dan penyebab lainnya.
Selain itu, data juga diekstrasi dari laporan GBD terbaru dan diuji menggunakan indeks Sociodemographic Index (DSI) yang menghitung nilai dari segi pendidikan, kesuburan dan pendapatan. SDI menelaah lebih jauh lagi secara historis, perkembangan yang dialami oleh negara-negara berkembang versus negara-negara maju. Studi sebelumnya yang juga hampir serupa pernah dilakukan, namun hanya terbatas pada negara-negara berpendapatan tinggi, terutama di Eropa Barat.
Negara-negara lain di Afrika, khususnya di Sub-Sahara, selain itu di Asia Pasifik, mengalami rating terendah. Tanpa terkecuali, banyak negara di wilayah ini, termasuk di Cina (skor 74), dan Etiopia (Skor 44), telah mulai mencatat banyak perbaikan sejak 1990.
Laporan Studi ini menawarkan adanya tanda-tanda perbaikan kualitas dan akses terhadap layana kesehatan. Sejak 1990, beberapa negara mencatat kemajuan hingga menyamai atau bahkan melebihi negara lainnya.
Negara-negara ini antara lain; adalah Turki, Yordania, Korea Selatan, Maldives, Nigeria dan beberapa negara di Eropa Barat, seperti Swiss, Spanyol dan Perancis.
IHME merencanakan untuk setiap tahunnya senantiasa memutakhirkan laporan “Healthcare Access and Quality Index Based on Mortality from Causes amenable to personal Healthcare in 195 Countries and Territories, 1990 –2015; Sebuah pendekatan baru terhadap studi GBD 2015.
Tujuannya adalah menggunakan hasil-hasil penelitian ini untuk memahami kesenjangan yang terjadi serta berbagai kesempatan yang ada dalam meningkatkan akses kesehatan di seluruh dunia.
Adapun Indeks HAQ atau Healthcare Access and Quality merupakan ringkasan yang pengukurannya didasarkan pada 32 kasus, dalam hal ini adalah kehadiran pelayanan kesehatan berkualitas tinggi tentunya tidak akan menimbulkan tingginya angka kematian.
32 jenis penyakit atau penyebab yang diseleksi sebagai bagian dari penelitian yang dilakukan oleh Professor McKee dan Dr. Ellen Nolte, peneliti yang terlibat dalam studi yang dimulai sejak tahun 2000-an ini, adalah: Tuberkulosa, Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan Diare, Infeksi saluran nafas bawah, Infeksi saluran nafas atas, Difteri, Batuk rejan, Tetanus, Campak, Masalah kehamilan, Masalah pada bayi yang baru lahir, Kanker kolon dan Usus Besar, Kanker kulit non-melanoma, Kanker payudara, Kanker serviks, Kanker uterus, Kanker testis, Limfoma Hoggkin, Kanker darah, Penyakit rematik jantung, Penyakit jantung iskemik, Stroke, Jantung Hypertensive, Penyakit pernafasan akut, Tukak lambung, Usus buntu, Hernia Inguinal, femoral, dan abdominal, Penyakit pada kantung empedu dan saluran empedu, Epilepsi, Diabetes, penyakit pada endokrin, darah dan sistem reproduksi, Penyakit ginjal akut, Anomali yang disebabkan oleh keturunan, Dampak buruk dari pengobatan yang terus menerus.