Jakartakita.com – Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) menilai, skema bagi hasil migas PSC Cost Recovery sebenarnya lebih aman bagi perusahaan migas termasuk oleh Pertamina, ketimbang menggunakan PSC Gross Split.
“Dengan gross split kita ada kekhawatiran, karena Pertamina tidak dibesarkan oleh pemerintah. Dengan gross split kita tahu risiko sepenuhnya ditanggung oleh kontraktor sementara negara hanya mengambil royalti saja,” terang Presiden FSPPB, Noviandri, di acara Buka Puasa Bersama FSPPB sekaligus Focus Group Discussion bertema ‘Untung Rugi Gross Split dalam Investasi Migas di Indonesia’ di Jakarta, Rabu (14/06).
Karena itu, lanjut dia, pekerja Pertamina mengharapkan pemerintah memahami risiko bisnis yang mau tak mau harus diambil serta dihadapi oleh Pertamina dengan penerapan gross split ini. Termasuk, kemungkinan kerugian perusahaan yang bisa berujung pada risiko pidana bagi jajaran pemimpin dan pekerja Pertamina.
“Risiko seperti itu, pemerintah harus tahu. Karena, Pertamina kan juga bagian dari Pemerintah. Jangan nanti, misal ada terkait pidana di mana dalam kegiatan usaha menjadi rugi dan dipidanakan. Nah, ini kan perlu dibuatkan juga payung hukumnya,” terangnya.
Ditambahkan, penerapan gross split pertama di Blok ONWJ yang dikelola oleh Pertamina Hulu Energi (PHE) masih harus dinanti hasil dari impelementasinya.
“Dalam gross split ini masih banyak komponen yang harus dihitung. FSPPB akan melakukan kajian dan hasilnya secepatnya akan kami sampaikan kepada pihak kementerian,” terangnya.
Sementara itu, Presiden Direktur PT Pertamina Hulu Energi (PHE), Gunung Sardjono Hadi mengungkapkan, pihaknya optimistis skema baru PSC Gross Split akan mendapat tanggapan positif dari investor.
Sebagai perusahaan yang pertama kali menerapkan Gross Split pada Blok ONWJ yang dikelola PHE, Gunung menilai, aturan baru tersebut sudah melalui proses pengkajian yang cukup matang dari pemerintah.
Dalam kontrak yang baru dengan skema gros split, PHE mendapatkan bagi hasil minyak sebesar 57,5 persen dan 42,5 persen untuk negara.
Sedangkan untuk gas, porsinya 37,5 persen bagian pemerintah dan 62,5 persen bagian kontraktor.
Angka bagi hasil tersebut berbeda jauh ketika masih menggunakan skema cost recovery, yakni minyak 85:15 sementara untuk gas dipatok 70:30.
“Bahkan, kami masih berpeluang untuk memperoleh tambahan split (bagi hasil) 5 persen lagi. Ini masih sedang dikaji lebih lanjut dengan pemerintah,” ungkap Gunung.
Diketahui, penerapan skema gross split belakangan banyak menuai reaksi. Skema baru tersebut dianggap tidak lebih baik dari skema cost recovery. Bahkan, dengan gross split, banyak pihak berpendapat, kendali negara atas kekayaan migas Indonesia menjadi hilang. (Edi Triyono)