Jakartakita.com – Ajang Jakarta Fair Kemayoran (JFK) tahun ini diselenggarakan untuk ke-50 kalinya.
Dikemas lebih istimewa, JFK menghadirkan beragam kegiatan dan konten menarik yang turut mengangkat unsur budaya, salah satunya Paviliun Mahakarya Indonesia.
Menurut sejarawan JJ Rizal, pada dasarnya, mahakarya yang harus diapresiasi dan jaga bersama terbagi menjadi dua; pertama ciptaan Tuhan seperti hasil alam, keragaman flora dan fauna, dan lainnya. Sedangkan yang kedua adalah hasil kreasi manusia, seperti kesenian, budaya, bahasa, hingga kuliner.
Terkait kuliner, yang patut diapresiasi adalah bir pletok dari tanah betawi.
”Bir pletok adalah minuman khas Betawi yang menjadi salah satu bukti peranan penting rempah-rempah, khususnya cengkeh, dalam kekayaan Mahakarya Indonesia. Di masa lalu, rempah yang terdiri dari cengkeh, pala, bunga pala, lada dan kayu manis telah menjadikan Indonesia sebagai pemain utama dalam sistem perniagaan yang oleh para ahli sejarah lebih sering disebut sebagai ’Jalur Rempah’,” jelas JJ Rizal dalam siaran pers yang diterima Jakartakita.com, Sabtu (08/7/2017).
Dijelaskan, minuman ini biasa disuguhkan saat momen-momen penting masyarakat Betawi.
Keistimewaan bir pletok juga telah diakui di tingkat nasional, hingga dunia. Terbukti dengan penobatan bir pletok sebagai salah satu dari 30 Ikon Kuliner Nusantara oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di tahun 2012.
Selain bir pletok, Mahakarya Indonesia lain yang turut meramaikan Jakarta Fair Kemayoran 2017 adalah Cethe, budaya yang awalnya lahir di Tulungagung, Jawa Timur dan kini mulai menyebar ke daerah pesisir lainnya.
”Cethe merupakan salah satu bentuk budaya yang menggambarkan masyarakat Indonesia sebagai Homo Ludens, dimana manusia tidak selalu harus bekerja tetapi perlu menyediakan waktu untuk bersantai atau bermain. Justru dengan memanfaatkan waktu bersantai untuk berkreasi inilah, lahir berbagai karya seni budaya yang tersebar di seluruh wilayah nusantara,” ungkap JJ Rizal.
Cethe juga dapat dikaitkan dengan sejarah batik yang panjang dan tradisi ‘ngerawit’ (sebutan untuk motif batik yang penuh, rumit, sulit) yang kuat.
Disinilah akhirnya sebuah produk budaya (batik) melahirkan produk budaya lain (cethe) sebagai bentuk reka cipta. Terinspirasi dari membatik, lahirlah budaya nyethe yaitu kegiatan mengoleskan ampas kopi ke batang rokok membentuk motif-motif tertentu, seperti batik, sulur, tulisan, sampai tribal.
Sementara itu, Renaldo Ratman dari Kilau Indonesia sebagai tim penyelenggara acara menyampaikan, Paviliun Mahakarya Indonesia merupakan persembahan dari Dji Sam Soe Super Premium yang selalu berkomitmen untuk menjaga berbagai Mahakarya Indonesia, semata-mata karena segala sesuatu yang berharga harus dijaga dengan sempurna.
Selain dua mahakarya tersebut, paviliun Mahakarya Indonesia juga mempersembahkan banyak aktivitas lain yang memberikan pengunjung kesempatan untuk menikmati berbagai pengalaman multisensorial yang akan memanjakan kelima panca indera mereka.