Jakartakita.com – India merupakan salah satu negara tujuan utama ekspor Indonesia. Tahun 2016 sejumlah 8% total ekspor Indonesia ditujukan ke India, dan 34% dari komoditas yang di ekspor merupakan minyak sawit dengan nilai ekspor sebesar USD 3,4 Miliar.
Tapi jumlah ini sedikit mengalami penurunan jika dibandingkan dengan nilai ekspor pada tahun 2012 yang sebesar USD 4,8 Miliar.
Adapun di tahun 2016 India mengimpor 5,3 Juta Ton minyak sawit dari Indonesia, melebihi impor dari Malaysia sebesar 2,9 Juta Ton.
Sebagai importir minyak nabati terbesar di dunia, India merupakan pasar dan mitra yang sangat penting bagi Indonesia, khususnya untuk produk minyak sawit. Selain sebagai tujuan ekspor terbesar minyak sawit Indonesia saat ini, India juga merupakan pasar yang terus berkembang dengan kondisi makro ekonomi yang stabil dan jumlah penduduk yang sangat besar.
Sayangnya, terdapat kecenderungan penurunan pangsa pasar minyak sawit Indonesia di India. Menyadari hal tersebut, Indonesia terus melakukan berbagai upaya agar ekspor minyak sawit Indonesia tidak mengalami penurunan dan bahkan mengalami peningkatan.
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), bersama-sama dengan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Mumbai, India pada hari Rabu (13/9/2017) lalu melaksanakan Indonesia – India Business Forum on Palm Oil di Mumbai, India yang bertujuan untuk menyerap berbagai masukkan dari pelaku bisnis di India mengenai produk sawit Indonesia, serta menegaskan komitmen Indonesia untuk terus memenuhi permintaan minyak sawit di India yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Acara ini diselenggarakan atas kerjasama BPDPKS dengan KJRI Mumbai serta Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI), Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), dan Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI).
Duta Besar Indonesia untuk India Sidharto R. Suryodipuro yang membuka acara tersebut manyampaikan, bahwa sebagai sesama negara eksportir, India dan Indonesia sama-sama memiliki kesamaan yang merupakan modal penting bagi kerjasama kedua negara.
“Bagi Indonesia, India merupakan pasar penting CPO Indonesia. Kami juga memahami bahwa permintaan CPO di India terus mengalami peningkatan, dan Indonesia siap untuk terus bekerjasama agar dapat memenuhi tuntutan permintaan yang tinggi tersebut,” jelas Dubes Sidharto dalam siaran pers yang diterima Jakartakita.com, Kamis (14/9/2017).
Dijelaskan, Pemerintah Indonesia dapat memahami beberapa concern dari pelaku bisnis india, dari petani maupun produsen dan Indonesia akan berupaya untuk memberikan respons yang baik terhadap concern tersebut dan juga mengharapkan agar GAPKI dan Asosiasi Minyak Nabati India, dapat terus bekerjasama.
Sementara itu, Staf Ahli Menteri Luar Negeri Bidang Diplomasi Ekonomi, Ridwan Hassan menegaskan, bahwa Pemerintah Indonesia menaruh perhatian terhadap pentingnya hubungan Indonesia dan India, dan meyakini bahwa sawit dapat menjadi tulang punggung hubungan yang penting tersebut.
“Kita memahami bahwa sawit sangat penting bagi Indonesia karena kontribusinya yang besar bagi perekonomian nasional, tapi sawit juga penting bagi India sebagai bahan baku untuk produk-produk lain yang dapat memberikan keuntungan bagi India,” jelas Ridwan Hassan.
Pada kesempatan tersebut dihadapan para pelaku bisnis India, Ketua Umum GAPKI, Joko Supriyono juga menegaskan pentingya sawit bagi Indonesia.
“Indonesia melakukan ekspor CPO ke lebih dari 70 negara, dan India merupakan tujuan ekspor utama selain China dan Uni eropa. Oleh karena itu, kami mengharapkan agar ada sedikit peningkatan ekspor sawit Indonesia ke India tahun 2017 ini,” tegas Joko Supriyono.
Joko juga menegaskan bahwa sawit merupakan kontributor terbesar bagi perekonomian nasional. Tidak saja bagi industri besar tetapi juga untuk petani, karena Sawit memberikan lapangan pekerjaan dan penting untuk pengembangan pedesaan.
Sementara itu, Direktur Bioenergi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Sudjoko Harsono Adi menjelaskan mengenai pemanfaatan sawit untuk mendukung kebijakan B20 Biodiesel di Indonesia.
Disampaikannya bahwa penggunaan biofuel, khususnya biodiesel di Indonesia merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk mengurangi ketergantugan terhadap bahan bakar fosil serta upaya mengurangi emisi sebagai tindak lanjut dari komitmen COP 21 Paris.
Adapun Hesti Sinthya Paramita yang mewakili Kementerian Perdagangan menyampaikan bahwa terdapat bebeberapa hambatan dalam ekspor sawit Indonesia ke India. Salah satunya adalah kenaikan tarif impor yang saat ini berlaku dari 7,5% menjadi 15% atau sekitar USD699/Ton.
Menanggapi hal ini, B.V Mehta, Direktur Eksekutif The Solvent Extractors’ Association of India mengatakan bahwa kebijakan pajak ekspor minyak sawit yang diberlakukan oleh negara produsen di Indonesia cukup mempengaruhi impor minyak sawit ke India. Oleh karena itu, ia menyarankan agar Pemerintah Indonesia juga mempertimbangkan untuk menurunkan pajak ekspor tersebut.
Terlepas dari itu, B.V Mehta menegaskan kembali bahwa India merupakan pasar yang potensial dengan pertumbuhan konsumsi yang terus meningkat. Saat ini menurutnya, konsumsi minyak sawit di India sudah mendekati 45% dari keseluruhan total konsumsi edible oil.
Adapun Delegasi Indonesia yang hadir dalam acara Indonesia – India Business Forum on Palm Oil antara lain: Ridwan Hassan, Staf Ahli Menteri Luar Negeri bidang Diplomasi Ekonomi; Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI); dan Sudjoko Harsono Adi, Direktur Bioenergi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; dan Hesty Syntia Paramitha Kusmanto dari Kementerian Perdagangan.
Turut hadir pula Direktur Kemitraan BPDPKS Tulus Budhianto; Kanya Lakshmi Sidarta dan Mustafa Muhammad Daulay dari GAPKI; Irma Rachmania dari Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI); serta Pamungkas Trishadiatmoko dari Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI). (Edi Triyono)