Katanya, beli apartemen itu gak berasa punya rumah karena tidak ada tanahnya. Katanya, punya apartemen itu rugi, karena kalau ada bencana, ya ludes semua. Katanya, katanya, dan katanya, masih terus menjadi penghalang kebanyakan masyarakat bisa punya hunian sendiri. Belum lagi memang culture masyarakat Indonesia yang terbiasa dengan rumah tapak.
Banyak orang yang harus berpindah-pindah lantaran rumahnya masih mengontrak. Alih-alih belum punya uang untuk beli rumah, mereka pun larut dalam kebiasaan mengontrak.
Bandingkan dengan Singapura yang warganya memiliki penghasilan lebih tinggi. Sekitar 87 persen warga negara tetangga Indonesia ini tinggal di rumah jangkung yang disediakan pemerintah.
Meski rumah susun sudah disediakan pemerintah, warga Singapura tidak lantas tinggal secara cuma-cuma. Pembelian rusun dilakukan melalui sistem Kredit Pemilikan Rumah seperti di Indonesia. Penerapan aturan itu karena lahan di Negeri Singa Putih itu memang kian sulit. Semua lahan merupakan hasil reklamasi.
Sadar gak sih, sebenarnya, kondisi serupa juga sedang terjadi di Indonesia, terutama Jakarta. Masih keukeuh mau punya rumah tapak di Jakarta? Masih bisa sih, tapi tak lagi realistis. Berapa harga rumah tapak di Jakarta? Untuk ukuran tanah 60 meter persegi saja rata-rata sudah dibanderol sekitar Rp1 miliar.
Saya ulangi, Rp1 miliar. Berapa cicilannya? Bahkan jika mendapat tenor selama 15 tahun, cicilannya akan sekitar Rp7 juta. Jangan lupa biaya hidup tinggal di Jakarta! Sepadan dengan penghasilan per bulan? Minimal tentu harus memiliki penghasilan Rp20 juta per bulannya.
Nah, berapa sih rata-rata gaji kaum milenial yang saat ini? Cuma sekitar Rp7 juta per bulan. Menurut survey Rumah123, kebanyakan dari mereka tetap pilih rumah tapak. Mau bayar cicilan pakai apa? Mau makan pakai apa? Masih maksa punya rumah tapak di Jakarta? Pikir lagi deh!
Kondisi seperti ini yang tak juga disadari banyak pihak. Milenial masih terbuai dengan gaya hidupnya yang “kekinian”, sementara pengembang juga tak melakukan edukasi dan sosialisasi seutuhnya.
Pengembang hanya sibuk membangun. Mereka juga seringkali mengeluh kala pasar ternyata masih mengidam-idamkan rumah tapak.Yang terjadi saat ini “over supply”, padahal backlog hunian juga masih tinggi.
Milenial sebagai pasar potensial sektor properti tak cuma butuh pasokan iklan proyek apartemen. Mereka butuh edukasi. Generasi yang sangat kritis ini butuh penjelasan detail tentang mengapa hunian jangkung menjadi pilihan terbaik saat ini untuk bisa punya tempat tinggal sendiri.
Pemerintah, dengan program sejuta rumah, juga tak sekadar menjadi pendorong ketersediaan suplai hunian. Toh backlog hunian tak melulu berarti hanya harus membangun rumah murah, bukan? Buktinya pemerintah juga membangun hunian berbasis Transit Oriented Development (TOD) yang berbentuk rusunami.
Edukasi dan kebijakan yang mendukung tentu akan lebih mampu menekan backlog hunian di Jakarta, juga Indonesia.
Suplai hunian yang didominasi rumah jangkung tak akan berguna jika masyarakat tak membuka mata tentang kondisi nyata saat ini. Apartemen sudah harus menjadi alternatif utama hunian di negeri ini.
Penulis : Ignatius Untung, Country General Manager Rumah123