Jakartakita.com – Badan Standardisasi Nasional (BSN) angkat bicara mengenai barang mainan tidak ber-SNI.
Kepala Pusat Sistem Penerapan Standar BSN, Wahyu Purbowasito menjelaskan, perumusan SNI melibatkan empat stakeholder yakni produsen, konsumen, ahli, dan pemerintah.
“Namun apabila menyangkut Keamanan, Kesehatan, Keselamatan dan Lingkungan Hidup atau K3L, instansi teknis bisa memberlakukan SNI secara wajib,” ujar Wahyu dalam konperensi pers di Gedung BPPT Jakarta, Rabu (24/1/2018).
Ditambahkan, pemberlakuan secara wajib SNI mainan anak dengan mempertimbangkan risiko atas penggunaan mainan.
”Kita tidak bisa membayangkan buah hati kita mengalami kecelakaan karena penggunaan mainan yang tidak aman,” kata Wahyu.
Menurutnya, beberapa risiko dari penggunaan mainan yang tidak aman, seperti bahaya tertelan dan tersedak.
Sebagai contoh, asesoris yang tertempel pada boneka, bisa lepas dan tertelan. Kemudian, bahaya kerusakan alat pendengaran yang ditimbulkan suara seperti sirine mobil-mobilan.
Yang lebih membahayakan adalah pada mata seperti pistol mainan atau panah-panahan. Juga bahaya terjerat atau tercekik yang ini biasa dijumpai pada permainan tali.
Bahaya tersayat dan tergores, dari mainan yang terbuat dari bahan plastik, kayu, logam dan mika. Bahaya terjatuh yang biasa dijumpai pada ayunan atau seluncuran.
“Bahaya terjepit, tersetrum, terpapar zat kimia berbahaya, serta terbakar adalah resiko bahaya yang bisa saja menimpa buah hati kita,” terang Wahyu mengingatkan.
Lebih lanjut diungkapkan, SNI yang ditetapkan BSN secara prinsip memuat persyaratan mutu yang menjadikan mainan aman digunakan.
Dengan mempertimbangkan faktor itu, Wahyu mengajak semua pihak untuk mendukung kebijakan pemerintah memberlakukan SNI secara wajib.
“Tidak ada niatan apa pun dari pemerintah selain ingin melindungi anak-anak Indonesia dari bahaya mainan, terutama yang berasal dari impor yang belum tentu ada jaminan kualitasnya,” ujar Wahyu.
Di sisi lain, pelaku usaha dalam negeri pun terdongkrak usahanya mengingat produk impor yang membanjiri pasar Indonesia.
“Untuk Usaha Mikro dan Kecil yang kemungkinan terkena dampak kebijakan ini, dibantu pemerintah mengurus sertifikasi SNI,” kata Wahyu.
Ia pun menyebut beberapa contoh UKM yang sukses mengembangkan usahanya seperti produk Omocha Toys yang berlokasi di Bogor, Jawa Barat.
“Omocha Toys berhasil menembus pasar retail lantaran mengantongi sertifikat SNI. Perusahaan lain non-UKM seperti PT Sinar Harapan Plastik (SHP) juga mengaku merasa diuntungkan dengan adanya SNI,” tuturnya.
Sampai saat ini tercatat sudah ada 94 pelaku usaha dengan lebih dari 90 merek yang mengantongi sertifikat SNI.
“Kalau bukan kita sendiri yang memastikan jaminan keselamatannya, lalu siapa lagi? Sementara kita semua meyakini, siapa pun terutama anak-anak tidak mau mengalami kecelakaan karena mainan,” tegas Wahyu mengingatkan.
Asal tahu saja, SNI Mainan Anak yang diberlakukan secara wajib oleh Kementerian Perindustrian meliputi SNI ISO 8124 – 1:2010, tentang aspek keamanan yang berhubungan dengan sifat fisis dan mekanis, SNI ISO 8124 – 2:2010, tentang mainan bersifat mudah terbakar, SNI ISO 8124-3:2010, tentang migrasi unsur tertentu, dan SNI ISO 8124-4:2010, tentang ayunan, seluncuran dan mainan aktivitas sejenis untuk pemakaian di dalam dan di luar lingkungan tempat tinggal.
Kemudian SNI IEC 62115:20111 tentang keamanan mainan elektrik, SNI 7617:2010 tentang persyaratan zat warna azo, kadar formaldehida dan kadar logam terekstraksi pada kain untuk pakaian bayi dan anak, serta EN 71-5 Chemical toys (sets) other than experimental sets. (Edi Triyono)