Jakartakita.com – Dalam rangka memperingati Hari Raya Imlek dan dalam rangka mengangkat kembali bahasa Melayu Tionghoa Peranakan yang pada masanya telah menjadi linguafranca, tidak hanya di Indonesia namun juga di Asia Tenggara, Kelompok Pojok yang didukung oleh para seniman Bulungan, mementaskan sebuah naskah yang berjudul Nonton Capgome, sebuah naskah yang ditulis pada tahun 1930-an oleh seorang sastrawan sekaligus wartawan yang revoluisoner pada masanya, yaitu Kwee Tek Hoay.
Pertunjukan itu sendiri dipentaskan di Gedung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM) selama dua hari berturut-turut yaitu pada hari Sabtu, tanggal 10 Februari 2018 pada pukul 19.30 WIB serta Minggu, 11 Februari 2018 pada pukul 16.00 WIB.
Acara yang didukung penuh oleh Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia (Aspertina) serta Yayasan KOCI Jakarta, telah dipersiapkan selama hampir 1 tahun dimana selama enam bulan pertama Kelompok Pojok yang sehari-harinya bermarkas di Bulungan, Jakarta Selatan ini melakukan riset mengenai sejarah masuknya orang-orang Tionghoa di Indonesia, lalu bagaimana tradisi adat dan istiadat peranakan Tionghoa di Indonesia dan lain sebagainya, bahkan riset pun dilakukan sampai ke kawasan Cina Benteng dan Semarang.
Pertunjukan dengan genre drama komedi ini terasa berbeda daripada pertunjukan lainnya karena semua bahasa yang digunakan masih menggunakan bahasa Melayu Passer atau Melayu Tionghoa Peranakan, yang memang populer pada tahun naskah ini dibuat, namun tidak menghilangkan esensi dari cerita tersebut, sehingga penonton di era milenial sekrang ini masih dapat mengerti akan ucapan semua pemain tersebut.
“Memainkan naskah ini tentu sudah kami pikirkan sejak lama. Kami ingin agar generasi saat ini tahu bahwa dulu bangsa ini juga memiliki bahasa Melayu Passer, bahasa yang telah menjadi pemersatu bangsa, tidak hanya di negeri ini, tetapi juga di kawasan Asia Tenggara,” ujar Tamimi dan Yasya Arifa selaku Sutradara dalam gladi resik di Taman Ismail Marjuki (TIM) Jakarta, Jum’at (10/2/2018).
Lebih lanjut, Tamimi dan Yasya mengatakan, bahwa alasan lainnya dari pada semua itu adalah bahwa para keturunan Tionghoa pada saat itu mengaggap diri mereka bukanlah bangsa lain, melainkan Indonesia.
Mereka ingin kesalahpahaman yang selama ini ada dan tertanam dalam benak masyarakat “pribumi” tentang “Cina” berubah, karena ini memang devide et impera warisan kolonial.
“Kami hanya ingin bangsa ini menjadi Tunggal Ika di dalam kebhinekaannya. Bahwa mereka juga adalah kita, yaitu Indonesia dan tidak ada yang membedakan antara kita dan mereka. Itu spirit kami dalam menggarap pertunjukan ini yang juga adalah spirit sang penulis itu juga,” pungkasnya. (Edi Triyono)