Jakartakita.com – Pekerja Pertamina yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) menggelar Focus Group Discussion bertajuk ‘SK No.39/MBU/02/2018 dan PP No. 06 Tahun 2018 sebagai Solusi atau Bencana dalam Tata Kelola Migas Nasional’ yang dilaksanakan di Jakarta, Rabu (21/03).
Dalam kesempatan tersebut, FSPPB menilai, terbitnya PP Nomor 06 Tahun 2018 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Pertamina, menjadi landasan hukum pembentukan holding migas.
Seperti dikabarkan di sejumlah media, PP No 6 Tahun 2018 sudah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 28 Februari 2018 lalu, dan saat ini pihak Kementerian BUMN sedang menunggu Keputusan Menteri Keuangan (KMK) terkait nilai saham pemerintah di PGN yang akan dialihkan kepada Pertamina.
“PP Nomor 6 Tahun 2018 adalah baik, namun tetap memerlukan koreksi terkait dengan kewenangan saham Dwi Warna,” terang Novriandi, Presiden FSPPB.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VI DPR, Inas Nasrullah Zubir dalam FGD yang digelar oleh Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) dengan tema SK No. 39/MBU/02/2018 dan PP No. 06 Tahun 2018 sebagai Solusi atau Bencana Dalam Tata Kelola Migas Nasional di Jakarta, Rabu (21/03/2018).
“Punya saham dua tapi tidak bisa ngapa-ngapain, kan jelek juga, jadi harus jelas juga,” ujar Ketua Fraksi Partai Hanura tersebut.
Lebih lanjut, Inas mengatakan, dirinya menyarankan kepada pemerintah agar kebijakan itu harus ditinjau ulang.
“Suatu kebijakan pemerintah itu harus melalui persetujuan dari DPR,” cetusnya.
Selain itu, tambahnya, terkait dengan SK 39, itu juga belum ada kajiannya, sehingga SK tersebut tidak ada kejelasan maksudnya.
“Mari kita tinjau ulang SK 39, susunan itu kan pusat ke korporasi, jadi bicarakan dulu dengan DPR, harus jelas sekarang pemisahaannya,” tuturnya lagi.
Sebelumnya, dirinya mengaku sudah minta di dalam rapat Panja, kajian dari SK tersebut. Tapi kajian yang ada hanya mengenai holding saja.
“Mengenai SK 39 tidak ada kajiannya, ini mendadak tiba-tiba akhirnya ini menjadi like and dislike saja, jadi SK 39 ini bisa disebut bodong, SK yang terbit tanpa kajian,” jelasnya lagi.
“Holding migas ini juga akan menghilangkan adanya kevakuman (pembangunan jaringan gas). Gara-gara bersaing, lalu untuk yang bisnisnya yang dinilai kurang bagus, malah jadinya tidak ada yang mau bangun. Ini harus dihilangkan, maka secara nasional perlu ada sinergi,” pungkasnya. (Edi Triyono)