Jakartakita.com – Serikat Pekerja Forum Komunikasi Pekerja & Pelaut Aktif Pertamina (SP FKPPA) menggelar aksi mogok industrial dalam rangka menolak akuisisi Pertagas oleh Perusahaan Gas Negara (PGN).
Menurut Ketua Umum SP FKPPA, Nur Hermawan, skema akuisisi yang dilakukan telah menghilangkan jaminan dominasi Negara sesuai amanat UUD 1945, dimana akhirnya mengakibatkan PGN yang sahamnya dilepas ke publik, dominan dikuasai asing.
“Harus kami tegaskan, bahwa tindakan akusisi tersebut juga memiliki potensi terjadinya kerugian Negara dan patut diduga hal tersebut terjadi karena adanya tindakan penyalahgunaan wewenang yang hanya untuk menguntungkan sekelompok pihak tertentu saja,” terang Nur, dalam konperensi pers di Kawasan Pertamina Perkapalan, Jakarta, Senin (9/7/2018).
Asal tahu saja, gas bumi adalah salah satu sumber energi penting bagi Negara yang memiliki peran vital dalam menjaga ketahanan energi nasional. Sudah sepatutnya gas bumi dikelola oleh Negara, bukan publik, sesuai yang tertulis pada Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 2.
Adapun Pertagas sebagai anak usaha Pertamina yang 100% sahamnya dimiliki oleh Negara, bergerak dalam sektor midstream dan downstream industri gas Indonesia.
Lebih lanjut Nur menjelaskan, proses akuisisi yang dilakukan mengakibatkan, Pertagas sebagai perusahaan yang sehat dan memiliki proyeksi keuntungan bisnis yang baik, berpotensi 100% sahamnya divaluasi menjadi lebih rendah dari nilai seharusnya, yang dilakukan oleh oknum-oknum pengambil keputusan yang mengidap moral hazard dan pihak swasta atau asing, yang berkepentingan untuk mengeruk kepentingan bisnis nasional.
“Kami amati, proses konsolidasi melalui akuisisi Pertagas oleh PGN dilakukan terburu-buru, hanya berdasarkan opsi yang tercepat tanpa memperhatikan kajian aspek-aspek terkait secara komprehensif, namun tidak terbatas dalam hal organisasi, kelembagaan dan SDM, yang mana hal ini sangat berpotensi menyebabkab kerugikan Negara,” tutur Hermawan.
Sementara itu, Sekjen SP FKPPA Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa menambahkan, sesuai amanat UU ketenagakerjaan UU No. 3 Tahun 2003 pasal 140, mogok adalah hak karyawan.
“Kami tetap akan mengikuti secara legal maupun konstitusional alurnya. Tapi yang ingin kami gambarkan kepada manajemen, pemangku kebijakan, atau pembuat keputusan adalah eskalasi ini akan terus menanjak dan terus menaik apabila managemen membiarkan hal ini terjadi. Aksi simpatik ini ibarat seperti gigi satu dan gigi dua sampai akan ada mogok kerja yang mungkin kita semua tidak akan mengharapkan. Coba bayangkan, kapal super tangker berhenti di tengah jalan hanya karena sebuah aksi korporasi yang menurut kami sangat mengedepankan kepentingan pribadi dari sekelompok orang,” katanya. (Edi Triyono)