Jakartakita.com – Para akademisi dan pakar pertambangan meminta Pemerintah untuk menunda pembentukan UU Minerba baru sebagai pengganti UU Minerba No.4/2009 dalam periode pemerintahan saat ini.
Penundaan sangat dibutuhkan guna dapat dilakukannya kajian yang lebih komprehensif atas seluruh permasalahan, termasuk menjamin keberpihakan yang lebih jelas kepada BUMN dalam mengusahakan dan mengelola sumber daya mineral dan batubara (minerba) nasional.
Para akademisi dan pakar pertambangan menilai, revisi UU Minerba yang diinisiasi oleh DPR kali ini, terkesan tergesa-gesa dan dipaksakan untuk segera disahkan.
Dalam rancangan undang undang yang terdiri dari 174 pasal yang disiapkan, hampir seluruh pasal dinilai para ahli sangat tidak relevan.
Salah satu yang menjadi polemik adalah tidak adanya pasal mengenai hak khusus pertambangan bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“RUU Minerba harus memuat konsep energy security serta orientasi pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang artinya pengelolaan harus dilakukan BUMN. Yang paling penting dan dalam draft tersebut tidak ada hak khusus pertambangan bagi BUMN,” ujar Said Didu, Mantan Sekjen Kementerian BUMN Periode 2004-2009 dalam diskusi Menyoal Revisi UU Minerba di Jakarta, Rabu (11/7/18).
Adapun Tino Ardyantho, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesai (Perhapi) menegaskan, RUU Minerba seyogyanya memaksimalkan kegiatan pengelolaan SDA Minerba dalam rangkaian kegiatan eksplorasi, pertambangan, pengolahan, dan pemurnian untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Hal ini merupakan bentuk nyata pelaksanaan amanat konstitusi. Prinsip ini sejalan dengan tiga aspek Trisakti dan sembilan agenda Nawa Cita.
Namun sayangnya hal tersebut tidak terefleksi dalam RUU Minerba. Bahkan terlihat tidak konsistennya penerapan nilai tambah dari rangkaian kegiatan pengolahan dan pemurnian.
Tino menemukan beberapa ketidakjelasan atas ketentuan-ketentuan pasal sebagaimana yang diatur dalam RUU Minerba, antara lain mengenai pengalihan IUP dan kewajiban divestasi perusahaan pemegang IUP Operasi Produksi yang terintegrasi dengan fasilitas pengolahan pemurnian. Padahal, berdasarkan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU Nomor 12/2011), pembuatan peraturan perundangan-undangan harus dilakukan berdasarkan azas kejelasan rumusan untuk memberikan kepastian hukum.
“Dalam RUU Minerba terdapat ketentuan mengenai perubahan usaha pertambangan dalam bentuk KK dan PKP2B menjadi izin. Namun demikian tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai kapan perubahan tersebut dilakukan, serta bagaimana tata cara pelaksanaannya, mengingat KK dan PKP2B merupakan produk hukum privat (perikatan) dan izin merupakan produk hukum publik. Sehingga perubahan harus dilakukan melalui mekanisme terminasi KK dan PKP2B serta penerbitan izin baru untuk area yang sama,” terang Tino.
Sebaliknya, lanjut dia, dalam aturan peralihan rancangan revisi UU Minerba disebutkan bahwa KK dan PKP2B dihargai keberlakuannya sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian.
Untuk itu, terang dia, ketentuan-ketentuan dalam rancangan revisi UU Minerba ini menjadi bertentangan satu sama lainnya dan terlihat tidak disiapkan dengan menjunjung tinggi azas kepastian hukum sebagaimana disyaratkan dalam UU No.12/2011.
Sementara Ketua Umum Asosiasi Metalurgi dan Material Indonesia (AMMI), Ryad Chairil, meminta penegasan dalam RUU Minerba ini, terkait kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri sebagai basis untuk mendukung industri manufaktur di Indonesia.
Menurutnya, RUU Minerba terlihat masih membuka ruang ekspor bijih mineral ke luar negeri yang tentunya bertentangan dengan Undang Undang Perindustrian.
Pihaknya juga memandang bahwa RUU Minerba belum mengakomodasi kepentingan keahlian metalurgi dan material nasional untuk berjaya di negara sendiri.
Lebih lanjut Ryad mengatakan, RUU Minerba perlu memuat unsur-unsur penguatan struktur BUMN Pertambangan. Kemudian mengamanatkan kegiatan eksplorasi oleh pemerintah atau pun perusahaan dengan insentif tertentu.
“Penting sekali RUU Minerba memuat poin tentang bagaimana memperkuat posisi BUMN dan bagaimana hak dan kewajiban Pemda dalam pengelolaan. Poin-poin RUU Minerba yang ada saat ini dikhawatirkan akan menimbulkan eksploitasi besar-besaran sumber daya minerba tanpa memperhatikan aspek sosial, perlindungan lingkungan, serta konservasi minerba bagi generasi mendatang,” kata Ryad. (Edi Triyono)