Jakartakita.com – Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang dipimpin Florensasi Susana telah mengabulkan permintaan PT Bumigas Energi (Bumigas) agar Putusan Badan Arbitrase Indonesia (BANI) No.922/2017 tanggal 30 Mei 2018 dibatalkan.
Putusan BANI tersebut adalah tentang perjanjian pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Dieng dan Patuha tanggal 1 Februari 2005.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara mengungkapkan, keputusan PN Jaksel ini berpotensi merugikan BUMN Geo Dipa Energi (GDE) dan menghambat pengembangan PLTP untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional. Oleh sebab itu, pihaknya menuntut agar putusan PN Jaksel tersebut dibatalkan.
“BUMN yang menyelenggarakan usaha menyangkut hajat hidup orang banyak sesuai konstitusi harus dilindungi dari berbagai upaya KKN,” kata Marwan di acara Media Briefing IRESS atas Kasus Geo Dipa, di Jakarta, Rabu (17/10/2018).
“IRESS juga menuntut penegak hukum (Polri dan KPK) untuk segera mengusut tuntas dugaan tindak pidana yang telah dilakukan oleh manajemen Bumigas dan oknum-oknum di PN dan MA yang justru telah membatalkan beberapa Putusan BANI dan MA yang telah mengikat, guna memenangkan Bumigas dalam kasus yang telah menghambat pembangunan energi nasional ini,” tegas Marwan.
Sementara itu, Ryad Chairil, Direktur Eksekutif Eralaw juga mengendus kejanggalan demi kejanggalan dalam perjalanan kasus GDE-Bumigas.
“Ini persoalan sudah sangat lama meski sebenarnya sudah terang benderang. Bahwa GDE adalah pihak yang seharusnya dilindungi dari jeratan hukum apapun. Pemerintah maupun DPR sudah waktunya mengintervensi,” katanya.
Dari sudut pandang hukum, Ahmad Redi, Dosen FH Untar Jakarta juga menegaskan bahwa putusan yang telah memenangkan GDE di BANI merupakan final dan mengikat. Sehingga tidak ada alasan lagi bagi Bumigas untuk kembali mengajukan gugatan. Termasuk bila menuruti desakan ganti rugi yang diajukan Bumigas.
“BANI itu sudah mengikat dan final. Tidak ada lagi upaya hukum. Kemudian jika ganti rugi dikabulkan GDE, justru tindakan itu akan masuk dalam aksi tindak pidana korupsi. Pasalnya, GDE adalah perusahaan BUMN yang jika alokasi anggarannya tidak sesuai, ia akan dipidana,” ujar Ahmad Redi.
Sementara itu, Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer lebih menyoroti semakin tertinggalnya pengelolaan panas bumi di Indonesia. Komaidi menyebut, potensi panas bumi Indonesia yang telah digarap hingga saat ini masih sekitar 4 persen. Padahal potensinya sangat luar biasa dan bahkan terbesar di dunia.
“Bila kasus ini berlarut-larut, maka program 35 ribu MW yang dicanangkan pemerintah akan semakin jauh dari harapan. Sudah waktunya pemerintah turun tangan agar kasus seperti ini tidak lagi menjerat perusahaan BUMN,” katanya. (Edi Triyono)