Jakartakita.com – Menjelang Pilpres 2014, Presiden Jokowi pernah berjanji akan membesarkan Pertamina guna menjadi perusahaan kelas dunia.
Namun, yang terjadi adalah Pemerintah justru memberatkan keuangan Pertamina melalui kewajiban signature bonus yang harus dibayar di depan untuk pengelolaan blok-blok migas yang kontraknya berakhir.
Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara dalam Seminar bertajuk ‘Menyoal Pemberlakuan Signatory Bonus Blok Rokan terhadap BUMN’, yang dihelat di Jakarta, Kamis (24/1/2019).
“Kebijakan pemerintah mewajibkan pembayaran signature bonus sebesar USD784 juta kepada Pertamina guna mengelola Blok Rokan berdasarkan Permen ESDM No. 30/2017 adalah kebijakan yang inkonstitusional,” jelasnya.
“Karena posisi Permen dalam tata urutan peraturan perundang-undangan Indonesia (sesuai UU No. 12/2011) jauh di bawah konstitusi, maka mestinya kebijakan tersebut batal demi hukum,” sambungnya.
Menurut Marwan, sesuai konstitusi (UUD 1945 Pasal 33), seluruh kekayaan alam yang terkandung dalam bumi pertiwi dikuasai negara melalui pengelolaan oleh BUMN untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
“Konstitusi mengamanatkan bahwa penguasaan negara harus berdampak pada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sebesar-besar kemakmuran rakyat dapat tercapai jika negara melakukan pengelolaan sumber daya alam migas secara langsung, yakni melalui organ negara, yaitu BUMN migas (Pertamina). Dengan pengelolaan secara langsung, dipastikan seluruh hasil dan keuntungan yang diperoleh akan menjadi keuntungan negara, sehingga akan memberikan manfaat terbesar bagi rakyat. Dengan demikian, blok-blok migas yang habis masa kontrak harus diserahkan kepada Pertamina selaku BUMN migas,” ucap Marwan.
Ditambahkan, seharusnya blok-blok migas yang habis masa kontraknya harus diserahkan kepada Pertamina selaku BUMN migas.
Asal tahu saja, selama periode 2019-2026 sendiri terdapat 23 blok migas yang akan habis masa kontraknya (blok terminasi).
“Penerapan signature bonus dapat dianggap sebagai penghambat atas upaya membesarkan Pertamina menjadi perusahaan energi bertaraf internasional, dan mampu menjamin ketahanan energi nasional yang berkelanjutan. Jika merujuk kebijakan berbagai negara di luar negeri, ternyata kewajiban signature bonus tidak pernah diterapkan kepada BUMN bangsa sendiri. Justru yang berlaku hal sebaliknya, di mana BUMN memperoleh dukungan dan berbagai privilege yang diberi dana oleh negara,” imbuhnya.
Lebih lanjut Marwan membeberkan, pada 21 Desember 2018 lalu, Pertamina telah membayar lunas kewajiban signature bonus Blok Rokan sebesar USD 784 juta.
Menurut Marwan, ternyata sumber dana untuk pembayaran diperoleh dari penerbitan global bond atau surat utang di pasar modal Singapura yang nilainya mencapai US$ 750 juta dengan tingkat bunga 6,5%.
“Dengan berhutang guna membayar signature bonus, maka beban hutang Pertamina menjadi semakin membubung,” jelasnya.
Walhasil, pada 2016, hutang Pertamina masih sebesar US$25,16 miliar. Hutangnya naik 9% menjadi US$27 miliar pada 2017.
Pada kuartal III 2018, hutang Pertamina membengkak menjadi Rp522 triliun (US$37 miliar), naik 40,7% dibandingkan periode yang sama pada 2017 sebesar Rp 371 triliun.
Khusus hutang obligasi, nilainya adalah US$8,75 miliar pada Oktober 2018, dan naik menjadi US$9,5 miliar pada Desember 2018 untuk membayar signature bonus.
Lebih lanjut Marwan juga mengungkapkan, sejak 2016, Pertamina pun telah dibebani dengan tugas-tugas Public Service Obligation (PSO) berupa beban biaya penjualan premium, solar dan gas elpiji 3 kg yang harus dijual di bawah harga keekonomian dan kebijakan BBM satu harga di seluruh Indonesia.
“Dengan beban keuangan yang demikian berat, maka tak heran jika Pertamina harus membuat hutang baru melalui penerbitan global bond guna membayar signature bonus,” tuturnya lagi.
Acara seminar ini juga dihadiri oleh Dr. Ryad Khairil (Eralaw); Dr. Ahmad Redi (KJI): M. Kholid Syeirazi (ISNU); dan Alfian Usman (Ketua APIB). (Edi Triyono)