Jakartakita.com – Eks Direktur utama PT Pertamina (Persero), Karen Agustiawan kembali menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (14/3/2019).
Agenda kali ini adalah menghadirkan keterangan saksi-saksi yang pernah menjadi bawahan Karen di Pertamina.
Saksi-saksi Persidangan dari tim Direktorat Hulu, yaitu; R. Gunung Sarjono Hadi (Eks. SVP BD), Zulkha Arfat (Eks. Sekretaris Tim Proyek Diamond-BMG), Geodi Naim, Reza Masri dan Bayu Kristanto (Eks. Manager M&A).
“Kewenangan untuk melakukan investasi non rutin di bisnis hulu minyak dan gas bumi (migas) bukan ada pada Direktur Utama, Direktur Keuangan dan bukan juga di Direktur Hulu. Kewenangannya ada pada seluruh Direksi. Bersifat kolektif kolegial,” ujar Karen, seusai menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor.
“Saya melihat ada beberapa saksi yang lupa bahwa Direksi dan Komisaris bekerja berdasarkan Anggaran Dasar. Dan yang lebih detilnya, ada di board manual,” lanjut Karen.
Ditambahkan, di board manual disampaikan, bahwa pertemuan komisaris yang informal tidak bisa mengikat.
“Mungkin para saksi sudah lupa karena kejadiannya pada tahun 2009. Tapi saya ingin mengingatkan bahwa ada board manual yang menjadi landasan kerja Direksi dan Komisaris,” papar istri Herman Agustiawan ini.
“Pertamina belum mempunyai pengalaman di offshore. Tentu kalau masuk di offshore, tidak bisa ujuk-ujuk 100%. Tentu 10% dulu. Dan itu yang saya ajarkan pada kawan-kawan Pertamina,” tegasnya.
Menurutnya, tata kerja organisasi (TKO), dan tata kerja individu (TKI) untuk akuisisi belum ada, baru ada pada tahun 2011. Proses akuisisinya mengacu pada SK/230. Adapun proses akuisisi di Blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia sudah sesuai dengan SK/230.
“Harga BMG sudah sesuai dengan hasil kajian Delloitte. Juga tidak ada temuan dari internal maupun eksternal sebelum Perjanjian Jual Beli (Sales Purchase Agreement/SPA) terkait possibility NPP (termasuk BOC) sehingga ini murni risiko bisnis,” jelas Karen.
Lebih lanjut diungkapkan, seluruh temuan Delloitte telah di cover sesuai masukan Backer dan tidak ada temuan yang berkaitan dengan NPP.
Dia juga menyebutkan, tidak pernah ada intervensi dari pihak manapun, sehingga keputusan diambil murni atas hasil kajian bottom up.
“Perusahaan Roc Oil Company Limited (ROC) bukan pihak yang menerima pembayaran, tetapi Anzon sehingga dakwaan JPU yang menyatakan memberikan keuntungan kepada ROC tidak tepat,” imbuh Karen.
Sementara itu, dalam kesaksiannya, Gunung Sarjono Hadi mantan Senior Vice President Business Development Pertamina mengatakan, bahwa proses akuisisi Blok Basker Manta Gummy (BMG) di Australia telah mempertimbangkan segala aspek dan mengikuti semua prosedur.
“Ini betul-betul menjadi suatu keputusan tertinggi dari perusahaan dan ini tentunya Bu Karen sudah pertimbangkan semua aspek,” ujar Gunung.
Setelah itu, jelas Gunung, dilakukan due dilligent (uji kelayakan) terhadap Blok BMG oleh PT Delloite Konsultan Indonesia (PT DKI) serta dua konsultan papan atas lainnya seperti Wood Mackenzie. Di sana, Pertamina mendapatkan review aspek operasional dan lainnya untuk kemudian dievaluasi berapa persen yang akan diajukan untuk diakuisisi. Dengan kata lain, seluruh kebijakan yang ditempuh Karen sudah melalui tahapan yang sewajarnya.
Sementara itu, Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) Arie Gumilar menilai, kasus yang menimpa Karen Agustiawan ini akan menjadikan investor takut berinvestasi di Indonesia.
“Mereka akan enggan masuk karena takut di pidana bila merugi,” katanya.
Padahal, lanjut Arie, usaha dunia migas sangat berbeda dengan bisnis lainnya.
“Minyak itu ada di dalam perut bumi yang tidak dapat dipastikan keberadaannya sekalipun oleh ahli geologis terhebat di dunia,” tegasnya.
Karena itu, dia berharap, semua pihak berhenti untuk mencari-cari kesalahan para CEO BUMN energi.
“Bahkan oleh geologis paling pintar di dunia pun, tidak ada yang bisa memastikan sumur migas tersebut akan berproduksi maksimal. Rasio keberhasilannya hanya 40-50 persen saja,” ujar Arie yang dimintai keterangan di sela persidangan.
“Lagipula, keputusan bisnis yang diambil Direksi Pertamina juga sudah melalui tahapan yang semestinya dilewati. Bahkan, sudah mendapat due diligent dari tiga konsultan raksasa bahwa investasi itu menguntungkan. Sehingga, ketika Pertamina melakukan investasi tetapi berujung pada kurang maksimalnya produksi, hal itu semata-mata adalah risiko bisnis,” sambungnya.
“Lalu, Pertamina melakukan cut loss dan itu sebuah proess bisnis yang lazim dilakukan. Bahkan ada satu perusahaan yang sahamnya 30 persen di situ dan mengalami hal sama, sementara Pertamina hanya 10 persen saham di sana. Buat perusahaan lain, itu hal biasa dan itu bukan tindak pidana,” jelas Arie.
Lebih lanjut Arie mengungkapkan, apa yang dialami Karen juga akan berdampak pada direksi BUMN lain. Nantinya, direksi akan takut mengambil risiko bisnis karena khawatir malah dituduh melakukan perbuatan tindak pidana.
“Di saat yang sama, perusahaan swasta akan semakin besar dengan segala inovasinya sehingga rawan menguasai sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak,” tandas Arie. (Edi Triyono)