Jakartakita.com – Mantan Dirut PT Pertamina (persero), Karen Agustiawan mengklaim ada rekayasa dalam kasus dugaan korupsi yang menjerat dirinya. Dia mensinyalir, dalam kasus dugaan korupsi terkait akuisisi Blok Basker Manta Gummy (BMG) di Australia tersebut, hanya menyasar orang tertentu dan terkesan kasus tersebut sudah diatur.
“Saya jadi bingung apakah persidangan ini sudah di set supaya Direksi masuk penjara. Tapi dipilah-pilah juga Direksi-nya. Hanya saya dan Pak Fere (Ferederick Siahaan, mantan Direktur Keuangan Pertamina),” ucap Karen usai sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (21/3/2019).
“Oleh sebab itu, saya ingin menghimbau pada BUMN agar hati-hati dalam menggunakan konsultan. Dalam kasus saya, perusahaan sekelas Delloite saja dapat memberikan keterangan menyesatkan yang mengakibatkan kedua anak buah saya di vonis penjara 8 tahun. Saya yakin bahwa Delloitte tidak punya intensi seperti ini dan saya harap pihak PT Delloite Konsultan Indonesia (DKI) ini dapat meluruskan,” tuturnya lagi.
Lebih lanjut Karen menjelaskan, sebagai contoh saja dalam BAP EW mengatakan bahwa 60 dollar adalah sebagai salah satu contoh dan bukan patokan karena range-nya adalah 40 – 80 dollar.
Akan tetapi, amar putusan masih menggunakan angka 60. Dan ini sudah dibuktikan dalam persidangan, karena DKI juga tidak mengetahui bahwa pada saat transaksi ini parameter harga minyak adalah 80 sesuai dengan APBN 2009.
Perlu dipertegas bahwa DKI itu hanya memberi masukan yang bersifat finansial dan tidak boleh berpendapat. Namun sayangnya, EW – perwakilan DKI, banyak memberikan pendapat baik di BAP maupun di sidang yang justru digunakan sebagai amar putusan.
“Jadi, sekali lagi saya menghimbau, BUMN agar berhati-hati menggunakan jasa DKI,” ujar Karen.
Lebih lanjut, Karen juga menilai, jaksa penuntut umum (JPU) terkesan memilah bukti yang diajukan ke persidangan. Di antaranya, soal keputusan melakukan pelepasan (withdrawal) participating interest 10% dari Blok BMG.
Menurut penuturan Karen, keputusan pelepasan itu tidak muncul begitu saja. Rencana pelepasan aset tersebut berawal dari usulan Pertamina Hulu Energi, anak usaha Pertamina, yang jadi pengelola Blok BMG.
“Masalah withdrawal kan keinginan PHE, diteruskan ke Komisaris. Komisaris pun meneruskan usulan itu ke Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). RUPS mempersilakan Komisaris untuk memberi persetujuan, RUPS bilang karena itu di bawah 30 juta (USD) silakan disetujui saja oleh Komisaris, jadi tidak perlu ke RUPS. Kemudian Komisaris mengirimkan surat kepada Direksi Pertamina. Inti suratnya mengatakan, bahwa jika pada batas waktu 23 Agustus 2013 proses divestasi gagal maka pelepasan aset bisa dilakukan,” tutur Karen.
Pada kenyataannya, tegas Karen, terkait pelepasan aset di Blok BMG sebenarnya telah melewati proses dan melalui beberapa pihak.
Oleh sebab itu, ia mempertanyakan kenapa JPU hanya menyertakan barang bukti surat dari dirinya kepada PHE untuk melakukan pelepasan aset.
“Jadi prosesnya dari bawah ke atas semua tidak dijadikan barang bukti,” tegas Karen.
Terkait kondisi tersebut, saat ditanya siapa pihak yang mengatur dan karena alasan apa kasusnya diatur, Karen hanya menjawab bahwa dirinya tidak tahu kenapa bisa begitu. “Terus terang saja, saya tidak tahu. Apa mungkin ingin menutupi kasus yang lebih besar lagi, saya tidak tahu,” tandasnya. (Edi Triyono)