Membendung Ponsel Ilegal Melalui Sistem Validasi IMEI

Jakartakita.com – Peredaran ponsel ilegal sudah sangat meresahkan. Menurut data dari APSI (Asosiasi Ponsel Seluruh Indonesia), sebanyak 20% dari total penjualan ponsel yang beredar di Indonesia adalah ilegal. 

Ketua APSI, Hasan Aula menyebutkan, 45 – 50 juta ponsel terjual setiap tahunnya di Indonesia. Jika 20% di antaranya adalah ilegal, maka jumlahnya sekitar 9 juta unit per tahun. Bila rata-rata harga ponsel itu sekitar Rp 2,5 juta, maka nilai totalnya mencapai Rp 22,5 Triliun.

Akibat dari maraknya ponsel ilegal tersebut, negara menjadi kehilangan potensi pemasukan. Karena Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tidak bisa memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% + PPH 2.5 persen dari ponsel ilegal tersebut.

“Total potensi pajak yang hilang sekitar Rp 2,8 triliun per tahun,” ujar Hasan Aula di Jakarta, baru-baru ini.

Bukan hanya pemerintah yang merugi, fenomena maraknya ponsel ilegal ini juga merugikan banyak pihak termasuk pengembang teknologi, operator seluler, dan konsumen.

Salah satu cara untuk memonitor keberadaan ponsel ilegal adalah dengan melalui IMEI (International Mobile Equipment Identification). 

IMEI adalah kode unik dari setiap perangkat ponsel yang berlaku secara internasional.

Kode IMEI yang diterbitkan oleh GSMA terdiri dari 14 hingga 16 digit. Pengguna bisa mengecek nomor IMEI dengan dial *#06#. 

Nomor IMEI ini bukan sekadar identifikasi perangkat untuk keperluan dagang, tapi juga untuk keamanan ponsel yang dipakai.

Oleh karena itu, pemerintah tengah menggodok regulasi mengenai validasi IMEI melalui beleid dari tiga Kementerian, yaitu Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang menurut rencana akan dikeluarkan pada 17 Agustus 2019. 

Menurut Janu Suryanto, Direktur Industri Elektronika dan Telematika Kemenperin, sistem kontrol IMEI sangat penting untuk melindungi industri dan konsumen di dalam negeri.

Untuk itu, perlu dilakukan identifikasi, registrasi, dan pemblokiran perangkat telekomunikasi seluler yang tidak memenuhi ketentuan.

Kebijakan validasi IMEI ini bisa melindungi industri ponsel dari persaingan tidak sehat sebagai dampak peredaran ilegal.

Selain itu, mengurangi tingkat kejahatan pencurian dan melindungi bagi penggunanya.

Juga memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas layanan telekomunikasi seluler dan menghilangkan ponsel BM (black market) dari pasar sehingga meningkatkan potensi pajak pemerintah.

Dalam upaya mendukung program kontrol IMEI tersebut, dibutuhkan regulasi sebagai payung pengelolaan data IMEI.

Pemerintah secara cermat akan membuat regulasi terkait Sistem Informasi Registrasi Identifikasi Nasional (SIRINA). 

“Istilah SIRINA itu bukanlah terjemahan dari DIRBS. Itu adalah sistem identifikasi, registrasi IMEI nasional yang akan diterbitkan oleh Kominfo,” ungkap Mochamad Hadiyana, Direktur Standarisasi Perangkat Pos & Informatika Kominfo.

Teknologi DIRBS

Teknologi yang akan dipakai untuk memonitor IMEI tersebut adalah Device Identification, Registration, and Blocking System (DIRBS) yang dikembangkan oleh Qualcomm.

Hal ini merupakan kelanjutan dari kerjasama strategis pada tahun 2017 antara Qualcomm dan Kemenperin yang telah dituangkan dalam MoU (Memorandum of Understanding) mengenai proses validasi data base IMEI. 

“Ini merupakan wujud dukungan Qualcomm dalam membantu pemerintah untuk validasi IMEI,” kata Nies Purwanti, Director, Government Affairs South East Asia and Pacific Qualcomm di Jakarta (9/7).

Dalam prosesnya, Qualcomm sudah memberikan transfer teknologi ke pemerintah untuk mengembangkan sistem DIRBS sesuai dengan kebutuhan di Indonesia.

DIRBS sendiri merupakan platform open source yang memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi, mendaftarkan, dan mengontrol akses jaringan seluler melalui nomor IMEI ponsel. 

Teknologi ini dikembangkan Qualcomm sebagai sumber terbuka untuk membantu pemerintah, regulator, dan lainnya dalam upaya mereka memerangi penyalahgunaan perangkat palsu, ilegal, dan steril di jaringan seluler. 

Cara kerja dari sistem kontrol DIRBS ini adalah akan memproses database IMEI yang didapatkan dari berbagai pemangku kepentingan.

Di antaranya adalah database GSMA selaku penerbit IMEI, sertifikasi Postel dari Kemkominfo, data TKDN dari Kemenperin, data impor dari Kemendag, data IMEI yang tersimpan operator, data dari individual misalnya jika membeli dari luar negeri, hingga laporan perangkat yang hilang atau dicuri. 

Sementara itu, YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) juga tidak merekomendasikan konsumen menggunakan ponsel black market.

Karena tidak ada jaminan hukum, kecuali sangat terbatas, misalnya hanya jaminan toko. Tapi ponsel ilegal atau black market sangat lemah perlindungan konsumennya. 

“Namun pemerintah harus hati-hati dalam memblokir IMEI. Karena banyak konsumen tidak tahu mana ponsel black market mana yang bukan. Bisa jadi konsumen tertipu atau terjebak. Jadi untuk menerapkan ini harus ada ada edukasi ke masyarakat terlebih dahulu tentang plus minus ponsel black market. Pemerintah pun harus melakukan law enforcement terhadap area-area yang sering menjual ponsel black market itu,” kata Tulus Abadi, Ketua YLKI.

Diharapkan, dengan penerapan teknologi tersebut, peredaran ponsel ilegal atau black market akan hilang. Sehingga industri telekomunikasi semakin tumbuh pesat untuk mendukung perekonomian Indonesia. (Edi Triyono)

APSIAsosiasi Ponsel Seluruh Indonesiablack marketIMEIInternational Mobile Equipment IdentificationKemendagkominfoponselponsel ilegalQualcommSistem Informasi Registrasi Identifikasi Nasional (SIRINA)ylki
Comments (0)
Add Comment