Jakartakita.com – Program JKN telah membuka akses terhadap diagnosis dan terapi kanker, namun akses terhadap penatalaksanaan kanker yang sesuai standar medis perlu perbaikan mendesak agar pasien kanker bisa mendapatkan haknya atas pelayanan kesehatan berkualitas, dan dokter juga bisa memberikan penatalaksanaan sesuai dengan standar medis.
Banyaknya hambatan pasien untuk mendapatkan akses pengobatan yang diperlukan mendorong Cancer Information & Support Center (CISC) mengadakan kegiatan diskusi interaktif dengan media di Jakarta, Senin (15/7) dengan tema “Penatalaksanaan Kanker di Era BPJS Kesehatan”.
Melansir siaran pers yang diterima Jakartakita.com, Selasa (16/7), disebutkan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang tepat mengenai perkembangan standar penatalaksanaan kanker serta tantangan dan peluang untuk dapat mengadopsinya dalam program JKN.
Diharapkan, mampu mendorong seluruh pemangku kepentingan untuk bertindak bersama agar pasien kanker bisa mendapatkan haknya atas pelayanan kesehatan berkualitas, dan para dokter juga bisa memberikan pengobatan yang sesuai standar medis.
“Pandangan puluhan tahun yang lalu bahwa kanker merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan adalah salah. Di Amerika dan Eropa, dalam 40 tahun terakhir, angka kesembuhan pada banyak jenis kanker meningkat tajam,” ungkap Dr. Ronald A. Hukom, MHSc, SpPD KHOM, FINASIM, ahli penyakit dalam dan onkologi medik yang juga Ketua Perhimpunan Hematologi Onkologi Medik Penyakit Dalam (PERHOMPEDIN) DKI Jakarta.
Beban Penyakit Kanker, Perlu Solusi Menyeluruh
Lebih lanjut Dr. Ronald A. Hukom menjelaskan, bahwa di Inggris, kanker payudara saat ini memiliki tingkat kesintasan 10 tahun sekitar 80% sejak diagnosis ditegakkan.
Untuk kanker prostat, yang merupakan kanker utama pada pria, sekitar 84% penderitanya masih hidup sesudah 10 tahun dinyatakan sakit (dibanding hanya 25% pada tahun 1970-71).
Ada kelompok pasien leukemia kronik yang sejak diagnosis ditegakkan, masih lebih dari 90% bertahan hidup dalam 10 tahun. Berbagai angka yang hampir sama sudah terlihat di beberapa negara Asia seperti Jepang dan Korea Selatan.
Untuk kanker stadium lanjut, hasil pengobatan juga semakin baik. Misalnya, kanker payudara stadium 4 (metastatic breast cancer) yang 30 tahun lalu tidak sampai 20% pasien masih bertahan hidup sesudah 5 tahun, saat ini pada kelompok tertentu (HER2 positif) bisa memiliki harapan hidup 50% lebih dari 5 tahun.
Dengan perkembangan tersebut, sangat penting bagi Pemerintah untuk bersama-sama seluruh pemangku kepentingan mengupayakan agar penatalaksanaan kanker yang sesuai dengan perkembangan standar medis bisa diakses pasien yang memerlukan, terutama melalui program JKN.
“Banyak warganegara kita yang masih berobat ke Cina, Malaysia, dan Singapura karena menganggap mutu pengobatan kanker di Indonesia belum memuaskan. Ratusan triliun rupiah dihabiskan, padahal angka ini sebetulnya bisa ditekan bila Kementerian Kesehatan bersama BPJS, bisa terus melakukan berbagai perbaikan dalam sistem pelayanan kesehatan, termasuk untuk kanker,” lanjut dr. Ronald Hukom.
Asal tahu saja, data dari Globocan 2018 menyatakan, ada 348.809 orang penderita kanker baru dalam satu tahun di seluruh Indonesia (kanker payudara sekitar 58.000 kasus, kanker leher rahim 32.000, kanker paru 30.000, kanker usus besar 30.000), dengan 207.000 kematian akibat kanker.
Apabila penyakit kanker tidak ditangani secara menyeluruh dengan tepat, mulai dari program pencegahan primer dan deteksi dini sampai terapi yang berbasis bukti (evidence-based), maka dikemudian hari akan membebani negara secara ekonomi dan sosial.
Sebuah studi menyebutkan, setiap tahun diperkirakan Indonesia mengalami kerugian US$48 milyar karena pasien yang berobat keluar negeri.
“Mungkin hanya diperlukan dana 3 – 5% dari yang dibawa pasien ke luar negeri dalam 5-10 tahun terakhir, untuk membangun beberapa pusat kanker modern dengan fasilitas diagnostik dan terapi lengkap di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Tidak perlu semua pasien kanker dirujuk ke Jakarta,” kata dr. Ronald Hukom.
Menutup penjelasannya, dr. Ronald Hukom menegaskan, perlu segera dibuat sistem audit pemakaian obat kanker (bukan Audit Medik) untuk meningkatkan kualitas pelayanan bagi penderita kanker.
Dalam 5 tahun pelaksanaan program JKN (2014-2019), belum pernah ada Audit secara khusus pada pemakaian obat kanker, yang meneliti apakah rumah sakit dan BPJS Kesehatan di semua daerah / propinsi sudah mengikuti restriksi yang ditentukan dalam Formularium Nasional.
Secara khusus dr. Ronald Hukom menyoroti kasus pencabutan dua obat terapi target untuk kanker kolorektal dari Formularium Nasional (Fornas), sehingga pasien tidak bisa lagi mendapatkan obat yang diperlukan tersebut.
“Audit pemakaian obat kanker secaraberkala akan membantu menyelamatkan miliaran rupiah dana JKN, dan penderita kanker yang memang membutuhkan obat‘mahal’ tertentu untuk hasil terapi yang lebih baik, tidak dirugikan karena obat yang diperlukan tidak dijamin oleh BPJS,” tandasnya.
Kemajuan Penatalaksanaan Harus Disertai Akses
Dalam acara yang sama, Dr. A. Hamid Rochanan, SpB-KBD, MKes, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Digestif Indonesia (IKABDI) memberikan pemaparan mengenai perkembangan penatalaksanaan kanker, terutama kanker kolorektal.
Dikatakannya, “Kemajuan standar penatalaksanaan kanker yang meningkatkan hasil terapi hanya akan bermakna jika bisa diakses oleh pasien yang membutuhkannya. Kanker adalah penyakit katastropik, yang bukan saja membuat pasien terbebani karena penyakitnya, tetapi juga karena pembiayaan terapinya. Oleh karena itu, negara harus hadir untuk menjembatani akses terhadap standar terapi kanker, terutama di era JKN.”
Dr. A. Hamid Rochanan, SpB-KBD, MKes secara khusus menjelaskan tentang terapi target untuk kanker kolorektal yang tengah menjadi isu karena dicabut dari Formularium Nasional (Fornas) dan dihentikan penjaminannya oleh Kementerian Kesehatan sesuai Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.01.07/Menkes/707/2018.
Dijelaskannya, “Terapi target bekerja dengan menargetkan gen atau protein tertentu untuk membantu menghentikan kanker tumbuh dan menyebar. Gen dan protein tersebut ditemukan di sel kanker atau sel yang terkait dengan pertumbuhan kanker. Dokter menggunakan terapi target dengan kemoterapi dan perawatan lainnya pada kanker kolorektal metastasis (stadium IV) secara selektif sesuai indikasi medis.
Di Indonesia, terapi target telah lama tersedia, dan beberapa diantaranya dijamin oleh ASKES dan selanjutnya oleh BPJS Kesehatan.”
Berdasarkan Fornas baru, dua obat kanker terapi target yaitu cetuksimab dan bevacizumab dihapus untuk kanker kolorektal.
Cetuksimab masih masuk dalam Fornas yang diindikasikan untuk kanker lain diluar kanker kolorektal, sedangkan bevacizumab yang pada Fornas sebelumnya diindikasikan untuk kanker kolorektal sama sekali dihilangkan dari Fornas baru.
Lanjut dr. Hamid, “Tidak menjamin kedua obat tersebut berarti mendorong dokter untuk hanya memberikan kemoterapi saja, sehingga pasien kanker kolorektal metastasis yang membutuhkan terapi target tidak mendapatkan hak pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau sesuai indikasi medis.”
Secara profesi, IKABDI mengajukan audiensi kepada Kemenkes untuk memberi masukan berkaitan dengan penatalaksanaan kanker kolorektal metastasis, dan telah dilaksanakan bersama tim HTA, Fornas, dan Kemenkes pada 19 Oktober 2018 dan 25 Februari 2019.
Pada Rapat Dengar Pendapat dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDP(U)) di Komisi IX DPR RI pada 11 Maret 2019, IKABDI telah mengkritik laporan studi HTA dan memberikan pandangan profesi tentang penatalaksanaan kanker kolorektal metastasis dan meminta kepada Menteri Kesehatan untuk meninjau ulang keputusan tersebut.
Pada RDP(U) telah disepakati agar Kepmenkes Nomor HK.01.07/MENKES/707/2018 tersebut ditunda dan direvisi. Selama proses revisi, pasien yang membutuhkan terapi target tetap bisa mendapatkannya. Pada tanggal 14 dan 18 Maret 2019 dilaksanakan rapat di Kemenkes untuk menindaklanjuti hasil RDP(U).
IKABDI bersama Perhompedin, Kemenkes, HTA, Fornas, BPOM, IDI dan fihak terkait untuk membahas persyaratan restriksi pemberian terapi target. IKABDI telah memberikan masukan ilmiah tentang kriteria, indikasi medis, benefit, dan persyaratan-persyaratan pemberian terapi target pada pasien kanker kolorektal metastasis sesuai indikasi medis.
Namun, empat bulan telah berlalu sejak RDP(U), Surat Penundaan Kepmenkes Nomor HK.01.07/MENKES/707/2018-pun tak kunjung muncul, Rumah Sakit tidak berani menyetujui pemberian terapi target pada pasiennya, ratusan pasien kolorektal metastasis (stadium IV) tak jelas terapi kankernya.
Senada dengan kedua klinisi, Aryanthi Baramuli Putri, Ketua Umum CISC pada waktu yang sama juga menyampaikan harapannya, “Kanker adalah penyakit katastropik. Biaya pengobatannya tidak murah, rakyat pada umumnya tidak akan mampu jika membayar sendiri. Oleh sebab itu, justru peran negara harus hadir, agar pasien kanker bisa tetap mendapatkan pengobatan yang berkualitas, sebagaimana diamanatkan oleh peraturan perundangan.
Aryanthi menambahkan, “Anggapan bahwa menambah hidup beberapa bulan tidaklah ‘bermakna’ sangatlah tidak manusiawi, dan menghalangi hak hidup pasien. Dua atau tiga bulan sekalipun adalah waktu yang sangat berharga dan itu adalah hak hidup, sehingga kualitas hidup harus dijaga. Penatalaksanaan kanker yang terus berkembang telah memberi harapan perbaikan hasil pengobatan, oleh karena itu harus disertai upaya terencana oleh Pemerintah agar bisa diakses oleh pasien.”
“Kami selaku komunitas memperjuangkan aspirasi-aspirasi pasien kanker berharap agar Pemerintah mencari solusi terbaik terkait pembiayaan pengobatan kanker yang berkualitas dengan melibatkan semua pihak agar pelayanan untuk pasien kanker bisa terus ditingkatkan, dan bukan malah dikurangi. Pemerintah dengan dibantu legislatif, akademisi, industri, organisasi pasien dan yang lainnya seharusnya mengupayakan pembiayaan kanker yang menyeluruh, bukan melihat dari satu sisi pandang saja (defisit keuangan),” tutur Aryanthi mengakhiri penjelasannya.