Jakartakita.com – Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB) bekerjasama dengan Penerbit Buku Kompas telah menerbitkan buku “Menggalang Ketahanan Nasional dengan Paradigma Pancasila”.
Terkait hal ini, YSNB menggelar bedah buku yang dimaksudkan untuk memperkenalkan buku “Menggalang Ketahanan Nasional dengan Paradigma Pancasila,” yang berisi hasil Diskusi Panel Serial (DPS) selama 18 bulan sejak tanggal 8 April 2017 hingga 3 November 2018 oleh YSNB, Aliansi Kebangsaan serta FKPPI.
Dalam kesempatan ini, Pontjo Sutowo selaku Dewan Pembina YSNB, yang juga Ketua Aliansi Kebangsaan mengatakan, bahwa ketahanan nasional yang dimaknai selama ini sudah jauh berbeda dengan ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang dihadapi saat ini.
“Ancaman hari ini sudah jauh berbeda dengan 75 tahun lalu. Kalau dulu konfliknya militer, sekarang bukan militer lagi,” ujar Pontjo, saat berdiskusi dengan awak media di The Sultan Residence, Jakarta, Rabu (04/3).
Sayangnya, lanjut dia, meskipun sudah berubah, tapi persepsi masyarakat dan sebagian pemimpin kita saat ini masih seperti dulu.
“Kita ini sepertinya tetap mempersiapkan diri untuk perang yang sudah lewat,” jelas Pontjo lebih lanjut.
Menurut Pontjo, bentuk ATHG (ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan) yang dilancarkan lawan saat ini sangatlah sulit dideteksi, karena menggunakan kombinasi teknik perang militer dan nonmiliter.
“Perang sekarang telah beralih ke ranah sosial-ekonomi dan sosio-budaya, termasuk mempengaruhi pola-pikir (mindset) bangsa lain,” tambahnya.
Oleh sebab itu, lanjut dia, untuk tidak mengulangi berbagai kajian tentang Ketahanan Nasional yang sudah dilakukan berbagai kalangan selama ini, maka YSNB, FKPPI, dan Aliansi Kebangsaan melalui berbagai diskusi yang diadakan, lebih mengkaji ketahanan nasional melalui pendekatan budaya dan peradaban bangsa, dengan melihat dari berbagai perspektif dan sudut pandang.
Lebih lanjut Pontjo Sutowo mengungkapkan, dalam aktualisasi ketahanan nasional menghadapi bentuk ancaman baru dewasa ini, maka Aliansi Kebangsaan dan YSNB bekerjasama dengan Forum Rektor Indonesia (FRI) dan Asosiasi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), kini juga tengah melakukan serial diskusi menyangkut tiga ranah pembangunan nasional, yakni; ranah mental-spiritual, ranah institusional sosial-politik, dan ranah material teknologikal.
Adapun buku setebal 266 halaman tersebut, akan dibedah lebih lanjut sesuai masing perspektif, dimulai pada hari Sabtu (7/3) bertempat di The Sultan Redidence, Jakarta.
“Masyarakat perlu tahu secara luas apa yang menjadi ancaman kita sekarang, dan mari kita hadapi bersama-sama dengan membangun ketahanan nasional kita,” kata Nurrachman, mantan duta besar, yang bersama Prof. Laode Kamaludin menjadi peserta aktif diskusi dalam rangkaian Diskusi Panel Serial sebelumnya. (Edi Triyono)