Jakartakita.com – Sejak Wuhan di-lockdown karena Covid-19, seluruh dunia gempar dan menimbulkan virus yang berdampak jauh lebih besar, yaitu Virus Paranoid.
Sampai tanggal 31 Maret 2020, korban yang terjangkit Covid-19 di dunia sebanyak 801.117 jiwa dimana 38.769 jiwa meninggal, dan 172.319 jiwa sembuh.
Tanpa bermaksud meremehkan kasus Covid-19 dan menyepelekan korban jiwa ditimbulkannya, kondisi ini perlu dikaji melalui nalar yang sehat.
Menurut Global Tuberculosis Report tahun 2019, penyakit TBC yang juga menular dari manusia ke manusia seperti halnya Covid-19 diestimasikan telah menjangkiti 10 juta penduduk dunia pada tahun 2018 atau sekitar 12 kali jumlah yang terjangkit Covid-19 dan jumlah yang meninggal diperkirakan 1,2 juta jiwa atau 30 kali korban meninggal karena Covid-19.
Untuk Indonesia, jumlah penderita TBC pada tahun yang sama berkisar 770.000–923,000 jiwa dengan angka kematian 87.000–99.000 jiwa.
Angka-angka itu sangat jauh di atas korban terpapar maupun yang meninggal karena Covid-19 di Indonesia.
Sekali lagi tidak bermaksud meremehkan jumlah yang meninggal karena Covid-19.
Bila menggunakan akal sehat, perbandingan data di atas menimbulkan pertanyaan mengapa Kasus TBC tidak mendapat perhatian seperti halnya Covid-19.
Apakah karena kasus TBC kebanyakan terjadi di negara miskin dan berkembang sehingga kurang menjanjikan dalam memperbesar pundi-pundi oknum-oknum jahat?
Kita bersama perlu merenungkan apakah kita masyarakat dunia sudah menjadi korban propaganda sehingga menimbulkan paranoid?
Paranoid telah menyebabkan banyak negara di dunia serentak mengalihkan dananya untuk penanggulagan kasus ini dimana mengorbankan dana untuk penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat serta mengorbankan kegiatan ekonomi. Bahkan ada yang secara ekstrim melakukan lockdown negara maupun wilayah.
Tindakan yang dilandasi paranoid tersebut dapat menimbulkan efek samping yang jauh lebih besar dari Covid-19 itu sendiri. (1) Bisa menggerus anggaran negara dalam jumlah sangat besar; (2) membuat banyak orang kehilangan pekerjaan; (3) banyak usaha yang bangkrut: (4) meningkatkan jumlah orang miskin; (5) meningkatkan kelaparan; (6) menimbulkan penjarahan; (7) menimbulkan kerusuhan massal; (8) menimbulkan banyak orang yang sakit jiwa; (9) mencerabut hakikat manusia sebagai makhluk sosial; dan (10) berbagai efek buruk lainnya.
Apabila kondisi ini ditunggangi oleh syahwat elit-elit politik, maka keberadaan suatu negara dipertaruhkan dan korban jiwa yang mungkin berjatuhan karenanya sulit diprediksi.
Kembali lagi ke akal sehat, timbul pertanyaan pihak mana yang diuntungkan dari kasus Covid-19?
Yang pertama adalah WHO. Lembaga ini memperoleh kesempatan meminta dana yang jauh lebih besar untuk kasus ini.
Pihak lainnya, adalah pelaku-pelaku tertentu di industri farmasi yang mendapat banjir pesanan pada kasus ini.
Dengan demikian, apabila kasus Covid-19 ini berakhir, tidak ada jaminan bahwa tidak muncul virus-virus baru di masa depan mengingat mereka telah merasakan gurihnya uang yang mengalir ke pundi-pundi mereka.
Bila hal ini terus terjadi, bagaimana negara-negara di dunia bisa mensejahterakan rakyat mereka karena banyak dana tergerus untuk menanggulangi setiap kasus virus yang muncul.
Untuk memutus mata rantainya, di samping langkah penanggulangan, perlu dilacak oknum-oknum yang memunculkan virus ini dan dihukum seberat-beratnya agar menjadi efek jera yang dapat mengurangi potensi tindakan yang sama di masa mendatang.
Beberapa tindakan yang perlu diambil pemerintah dalam kasus Covid-19 ini, yaitu sebagai berikut;
1.Negara yang menerapkan lockdown harus secepatnya dihentikan sebab apabila diteruskan maka rakyat yang sehat akan semakin menderita sehingga dapat menimbulkan tindakan-tindakan yang tidak diharapkan sebagaimana disebutkan di atas. Namun demikian, pengawasan masuk-keluar orang tetap dilakukan secara ketat dengan melakukan pengecekan kesehatan. Mereka yang diperkirakan sedang sakit sebaiknya langsung di karantina, jangan disuruh balik karena bisa menjangkiti orang lain. Oleh sebab itu, fasilitas karantina darurat sebaiknya ditempatkan di dekat pintu keluar masuk suatu wilayah.
2.Karantina wilayah jangan dilakukan secara pukul rata. Khusus Indonesia sebagai negara kepulauan perlu dipetakan secara serius daerah mana saja yang pendemi tinggi, mana yang sedang, mana yang kecil, dan mana yang belum ada pendemi. Bagi daerah dengan pendemi tinggi dan menengah perlu tenaga kesehatan door to door untuk mengecek kesehatan masyarakat agar secepatnya dapat dideteksi mereka yang terkena. Di sisi lain, wilayah yang kasusnya rendah atau tidak ada kasus, perlu melibatkan perangkat daerah terendah untuk memonitor kesehatan masyarakat dan melaporkan kepada Pusat Darurat Covid-19 apabila ada warganya yang sakit. Pada wilayah seperti ini tidak perlu work from home tapi tetap menjaga social distancing dan pengecekan kesehatan di pintu masuk dan melakukan karantina 14 hari. Ini dimaksudkan agar kita tidak mengisolasikan jutaan orang sehat demi untuk beberapa orang yang sakit dan juga mengurangi beban pemerintah menyediakan kebutuhan pokok masyarakat.
3.Secara umum, pemerintah perlu secepatnya mewajibkan perusahaan-perusahaan, instansi pemerintah, dan institusi lainnya mempersiapkan alat pengecekan Covid-19 dan sanitasi yang memadai di pintu masuk. Bagi yang sudah memenuhi kewajiban tersebut dapat mempekerjakan karayawan/pegawai seperti biasa namun tetap mengawasi social distancing. Bagi karyawan/pegawai yang sakit jangan diizinkan masuk kerja dan dilaporkan kepada Pusat Darurat Covid-19 untuk diperiksa. Ini dibutuhkan untuk menghidupkan roda ekonomi bangsa dan mengurangi beban pemerintah.
Akhirnya, kita mesti ingat ada pepatah lama yang mengatakan “bila ingin membasmi tikus di lumbung, jangan bakar lumbungnya”. (Penulis : DR. Agus Tony Poputra-Dosen FEB Unsrat)