Jakartakita.com – Tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan seperti fenomena gunung es.
Data yang dirilis Komnas Perempuan pada tahun 2019 dan diluncurkan pada tahun 2020 ini bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional bulan Maret lalu menunjukkan, kasus kekerasan terhadap perempuan yang terlaporkan sebanyak 431.471 kasus, meningkat 6 persen dari tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 406.178 kasus.
Data ini menunjukkan bahwa di ranah pribadi, dilaporkan kekerasan seksual sebanyak 2.988 kasus (31%), sedangkan di ranah publik atau komunitas ada 64% kekerasan terhadap perempuan adalah Kekerasan Seksual.
Sementara total kekerasan berbasis gender online (KBGO) sebanyak 354 kasus sepanjang Januari-Mei 2020 di semua ranah. Jumlah ini sudah lebih banyak dari total laporan pada 2019, yaitu sebanyak 281 kasus.
Jenis kekerasan seksual terbanyak di ranah ini adalah ancaman penyebaran foto/video porno atau revenge porn (81 laporan) sejak maraknya kegiatan online di masa pandemik ini.
Kekerasan berbasis gender di sini dalam bentuk kekerasan terhadap perempuan, merupakan konsekuensi dari relasi kuasa yang timpang antara lelaki dan perempuan, dimana perempuan ditempatkan sebagai subordinat dari laki-laki.
Sementara menurut Rutgers WPF Indonesia, KBG mencakup serangkaian kekerasan yang lebih luas, termasuk kekerasan terhadap perempuan dan laki-laki, minoritas seksual, yang identitasnya gender-nonconforming, yang kerap berakar pada ketidaksetaraan gender dan norma gender yang berbahaya yang mendorong kekerasan.
Sederhananya, tindakan kekerasan yang berlandaskan pada asumsi gender dan atau seksual tertentu.
Di Indonesia yang masih kental dengan kultur patriarki, lelaki umumnya memiliki kontrol dan kuasa terhadap anggota keluarga yang lain.
Konstruksi sosial yang lekat dengan budaya patriarki pula yang melanggengkan kekerasan berbasis gender.
Minimnya keterlibatan laki-laki dalam upaya pencegahan kekerasan berbasis gender merupakan salah satu faktor yang membutuhkan perhatian lebih, dimana sebagian besar program-program yang berkembang selama ini masih berfokus pada pemberdayaan perempuan dan belum cukup menyasar akar persoalannya, yaitu norma dan relasi gender laki-laki dan perempuan.
Untuk itu, Rutgers WPF Indonesia melalui program Prevention+ yang merupakan kelanjutan dari program MenCare+ ingin mewujudkan kesetaraan gender dan penghapusan kekerasan seksual sebagai suatu kondisi yang ideal bagi pemenuhan hak-hak dan kesehatan seksual dan reproduksi dan membongkar norma-norma gender yang ada.
Prevention+ bertujuan mengurangi kekerasan terhadap perempuan serta meningkatkan partisipasi ekonomi perempuan dengan pendekatan pelibatan laki-laki sebagai agen perubahan dan mempromosikan nilai maskulinitas yang positif berdasarkan nilai kesetaraan dan nonkekerasan.
“Kesetaraan gender tidak dapat dicapai tanpa keterlibatan laki-laki dan remaja laki-laki dalam mengurangi bahkan menghapus kekerasan berbasi gender sehingga dengan mengajak mereka melalui program Prevention+, mereka dapat teredukasi dengan baik dan kami percaya bahwa laki-laki juga adalah agen perubahan untuk menghentikan kekerasan berbasis gender,” ujar Ingrid Irawati, SGBV PV Rutgers WPF Indonesia dalam Diskusi Media secara online bertema “Laki-laki Sebagai Agen Perubahan Mewujudkan Kesetaraan Gender dan Penghapusan Kekerasan Seksual”, Senin (26/10/2020).
“Dengan adanya program ini diharapkan semakin banyak laki-laki yang terlibat sebagai Agen Perubahan mewujudkan kesetaraan gender dan penghapusan kekerasan seksual di Indonesia karena sesungguhnya patriarki tidak hanya mengancam perempuan, tetapi juga laki-laki dengan segala kekuasaan, keistimewaan, dan permisif yang dimiliki,” sambung Ingrid Irawati.
Di kesempatan yang sama, Sofiyan Hd, Manajer Umum Lembaga Advokasi Perempuan, DAMAR mengatakan, bahwa dengan adanya program Prevention+ yang melibatkan laki-laki, semakin banyak laki-laki yang bergerak untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan karena selama ini mayoritas mereka diam melihat kekerasan terhadap perempuan.
“Selama ini ada banyak laki-laki yang tidak setuju dengan kekerasan terhadap perempuan tetapi karena tidak tersedianya ruang bagi mereka untuk mendapatkan informasi dan wadah untuk bersikap ketika kasus itu terjadi akhirnya mereka memilih untuk diam tidak melakukan apapun, hadirnya program Prevention+ dari Rutgers WPF Indonesia membuat mereka akhirnya bersuara mendukung penghapusan kekerasan seksual,” terang Sofyan.
Dengan menggandeng mitra lokal di antaranya; Yabima, Sahabat Kapas, Rifka Annisa, Damar, dan Rahima, program Prevention+ sudah berjalan sejak tahun 2016 menyasar 4 wilayah besar di Indonesia, yaitu; Jakarta, Bandar Lampung, Solo dan Yogyakarta.
Program Prevention+ bersifat mencegah atau mengurangi potensi bahaya terabaikannya prinsip kesetaraan gender dan bahaya yang mengancam hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi.
Sebagai informasi, Rutgers WPF Indonesia merupakan Lembaga non-profit atau NGO yang bekerja di Indonesia sejak tahun 1997 untuk isu Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) serta pencegahan Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual (KBGS).
Selain di Indonesia, Rutgers WPF juga beroperasi di negara-negara lain di Asia, seperti; Pakistan, Eropa, Afrika dan Amerika Latin. (Rully)