Jakartakita.com – Perkotaan menjadi daerah yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim yang berpotensi meningkatkan bencana.
Dalam Webinar Pekan Diplomasi Iklim “Integrasi Ketahanan Iklim dalam Perencanaan dan Pembangunan Perkotaan, Selasa (27/10), Sekretaris Jenderal UCLG ASPAC, Dr. Bernadia Irawati Tjandradewi mengatakan, perubahan iklim di skala perkotaan saat ini tengah terancam.
“Diperlukan adanya implementasi konsep HIJAU dalam penyusunan strategi kota berketahanan yaitu kota yang memanfaatkan sumber daya air, pangan, energi, dan ruang secara berkelanjutan dengan meminimalisasi dampak negatif terhadap lingkungan perkotaan termasuk mengurangi polusi. Selain itu juga, TANGGUH yakni kota yang mampu beradaptasi dengan memitigasi risiko bencana dan perubahan iklim, termasuk dengan meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan masyarakat. Untuk itu perlu adanya penerapan visi kebijakan pembangunan perkotaan nasional melalui pendekatan Smart Green Resilient,” jelasnya.
Karena itu, ia sangat mengapresiasi komitmen pemerintah Indonesia yang telah memasukkan isu perubahan iklim sebagai salah satu prioritas di RPJMN 2020-2024 termasuk juga meratifikasi Paris Agreement dan Nationally Determined Contribution.
Sementara itu, Vincent Piket Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia mengatakan bahwa Uni Eropa tetap memprioritaskan upaya-upaya dalam mengatasi ancaman perubahan iklim.
“Melalui Climate Resilient Inclusive Cities (CRIC), Uni Eropa dan Indonesia bekerja sama membangun kota untuk masa depan yang tangguh dan inklusif, bermitra dengan pemerintah, bisnis, komunitas lokal, dan lembaga peneliti di Eropa, Asia Selatan dan Asia Tenggara,” katanya.
Di kesempatan yang sama, Nyoto Suwignya selaku Direktur Perencanaan, Evaluasi dan Informasi Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, bahwa pihaknya telah memilih 10 kota percontohan dalam menerapkan strategi membangun perkotaan yang tangguh dan berketahanan iklim, yaitu; Pangkalpinang, Pekanbaru, Bandar Lampung, Cirebon, Samarinda, Banjarmasin, Mataram, Kupang, Gorontalo dan Ternate.
Di sisi lain, perubahan iklim juga berpengaruh terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Dr. Ruandha Agung Sugardiman, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, “Penurunan PDB Indonesia diperkirakan mencapai 3,5 persen pada tahun 2100 atau turun sekitar 0,66 persen hingga 3,45 persen pada 2030,” katanya.
Adapun Mia Amalia Plt. Direktur Pembangunan Daerah Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional mengatakan, “Bappenas telah mengidentifikasi isu strategis dalam perwujudan kota berketahanan yakni amanat RTH 30 persen, rendahnya proporsi EBT energi baru dan terbarukan, ketergantungan dan linear ekonomi, penurunan IKLH, tingginya emisi karbon, dan kerentanan bencana serta dampak perubahan iklim.”