Budaya Lokal Berperan Penting Untuk Mitigasi Dampak Perubahan Iklim

foto : istimewa

Jakartakita.com – Pelestarian budaya lokal setempat yang telah hidup di tengah masyarakat dari generasi ke generasi, nyatanya turut berperan dalam mengatasi dampak perubahan iklim.

Kondisi lingkungan saat ini dapat dijadikan introspeksi pemeliharaan alam demi masa depan anak-anak sebagai pewaris dampak dari segala macam situasi.

Menurut River Defender, Co-Founder Hakikat Ciliwung Bogor, Suparno Jumar, kondisi lingkungan penting untuk dijaga melalui kearifan lokal masyarakat setempat. Sebab jika tidak, kerusakan dari satu generasi ke generasi selanjutnya tidak bisa dihindari. 

Ia bercerita, pada tahun 1986 hingga awal 1990 lalu, panen padi di masyarakat selalu dibarengi dengan panen ikan karena kondisi sungai yang masih baik. Namun kemudian, produksi padi menjadi turun dan ikan pun perlahan tidak lagi ada.

“Ini karena kontribusi pestisida sehingga berpengaruh ke masyarakat juga,” jelasnya pada webinar “Traditional Wisdom & Cultural Perfomance on River Protection Confirmation,” Jumat (30/10), dalam rangkaian Pekan Diplomasi Iklim Uni Eropa.

Dalam upaya pelestarian lingkungan itu, masyarakat melibatkan budaya lokal yang memberi pemaknaan dan pembelajaraan.

Misalnya saja, Kaulinan Budak (olah raga, bermain dan bersih-bersih sungai), Sora Tatabuhan & Tutur Kolot Baheula: musik tradisional (suling, karinding, ronteng).

Ada pula budaya Jangjawokan Keur Budak (cerita kedaerahan dan kearifan lokal) dan Berkah Ci Nteh (budaya minum teh bersama diiringi harapan untuk masa depan).

“Ini memberikan pelajaran untuk stay humble, peduli lingkungan dan keseimbangan alam. Sesuatu itu jangan berlebihan, harus seimbang, karena kalau tidak seimbang akan ada yang jadi korban, yaitu lingkungan,” kata dia.

Di kesempatan yang sama, Ketua Lesbumi NU Kota, Pengapu Pustaka Budaya dan Sejarah Kesultanan Kenoman Cirebon, Ifful Azka mengatakan, budaya lokal yang masih dilestarikan masyarakat juga berguna sebagai bahan perenungan agar lebih bijak hidup berdampingan dengan alam. Misalnya, budaya membagikan nasi jimat.

“Beras terbaik yang dipanen, dalam proses memasaknya pun tidak boleh bersuara dan mesti dalam kondisi puasa ngalus seperti makan sesuatu yang tidak bernyawa, dengan bumbu-bumbu yang dicampur untuk kebaikan tubuh.” ujarnya.

Menyoal itu, pemilik Rumah Belajar Ilalang Jepara, Den Hasan pun meyakini bahwa pelestarian terhadap adat leluhur memiliki pesan penting. Termasuk, cerita-cerita rakyat sebagai panduan yang berguna bagi generasi mendatang.

“Saya meyakini mitologi yang dibangun nenek moyang kita, misal jangan tebang pohon dipinggir sungai – bukan untuk animisme-dinamisme semata, melainkan taktik leluhur agar alam lestari,” katanya.

Dalam upaya pelestarian alam dengan budaya lokal ini, anak muda tentu perlu dilibatkan aktif sehingga budaya lokal yang lekat dengan nilai luhur itu bisa diaplikasikan secara berkelanjutan.

Hal itulah, yang membuat Gema WSP Nasution, Penggagas Mari Kita Berkebun, Gerakan Ketahanan Pangan, dan Kebun Kolektif Milenial, Bogor akhirnya memiliki inisiatif untuk terus menggerakkan anak muda mau peduli dengan lingkungan dan dampak perubahan iklim.

“Perubahan iklim memiliki dampak serius yang tak bisa diabaikan, sayangnya banyak anak muda yang kini apatis dengan aksi penyelamatan lingkungan. Maka dari itu, melalui gerakan berkebun, aksi menanam untuk ketahan pangan serta memberdayakan kebun secara kolektif dia mulai melakukan kampanye dan ajakan kepada para milenial,” tandasnya.

Budaya Lokalkearifan lokalPekan Diplomasi Iklim Uni Eropaperubahan iklim
Comments (0)
Add Comment