Jakartakita.com – Cerdik Sehat, sebuah organisasi yang peduli dan berfokus pada bidang kesehatan masyarakat menggelar webinar bertajuk “Dari Rumah Mengenal BPA pada Kemasan Makanan”, Selasa (15/12).
Menurut Desak Made Lidya Metasari selaku Founder Cerdik Sehat, kegiatan ini bermaksud untuk mengajak masyarakat, terutama para orang tua milenial, untuk lebih memperhatikan kesehatan keluarga, yang dimulai dari pemilihan kemasan makanan dan minuman.
“Sebagai organisasi yang peduli pada kesehatan, kami ingin terus mengajak masyarakat untuk cerdik menjalani kehidupan, salah satunya dengan menjaga kesehatan. Ada banyak hal yang bisa kita bahas terkait kesehatan masyarakat, salah satunya adalah hidup sehat bebas BPA. Hal ini penting namun kurang disadari oleh masyarakat padahal kandungan BPA mungkin saja sering ditemukan dalam peralatan sehari-hari. Lewat webinar ini, kami berharap bisa memberikan edukasi dan mensosialisasikan bahaya BPA pada kemasan makanan atau minuman kepada masyarakat,” ujar Desak Made Lidya Metasari.
Lantas, apa itu BPA?
BPA atau Bisphenol-A merupakan zat kimia yang sering digunakan dalam banyak produk plastik. Biasanya sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari seperti wadah atau kemasan plastik, botol bayi, mainan anak-anak dan masih banyak lainnya.
Ternyata, BPA memiliki dampak buruk yang dapat mengganggu kesehatan tubuh manusia.
Penjelasan lain mengatakan bahwa, BPA adalah monomer yang digunakan dalam pembuatan polikarbonat dan resin epoksi.
Polikarbonat sendiri dikenal memiliki sifat yang kaku dan transparan.
Berdasarkan sifat bawaannya tersebut, polikarbonat seringkali digunakan sebagai bahan atau wadah yang akan berkontak langsung dengan makanan atau minuman.
Berdasarkan informasi yang ditemukan, dampak BPA dapat dialami oleh semua orang, mulai dari bayi hingga lansia.
BPA menjadi zat yang dapat mengganggu sistem endokrin atau hormonal dalam tubuh. Hal ini memicu adanya perubahan metabolisme tubuh dan berkaitan dengan resiko terjadinya masalah reproduksi, penyakit jantung, kanker, gangguan perilaku pada anak, hiperaktivitas dan gangguan lainnya.
“Polikarbonat biasanya digunakan untuk barang-barang seperti peralatan makan, botol susu bayi, mainan bayi bahkan hingga empeng. Selain itu, digunakan juga untuk peralatan medis, tinta cetak, CD maupun DVD. Sedangkan paparan BPA paling sering terjadi melalui migrasi dari bahan kemasan yang mengalami kontak langsung dengan makanan. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah kemasan atau barang berbahan plastik dari polikarbonat maupun kemasan kaleng, khususnya untuk mengemas produk infant formula,” jelas Dr. Ing. Azis Boing Sitanggang, S.TP, MSc selaku pakar teknologi pangan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), dikesempatan yang sama.
Sementara itu, dr. Daulika Yusna, SpA sebagai Dokter Spesialis Anak Neonatologist menjelaskan, bagi para ibu yang memiliki anak balita, disarankan sebaiknya mulai selektif dalam memilih kemasan makanan dan minuman terutama untuk anak-anak.
“Mulai dihindari dan dikurangi penggunaan plastik sebisa mungkin. Produk-produk berbahan dasar plastik jika terkena panas atau dicuci berulang kali bisa memicu luruhnya zat kimia berbahaya yang akan mencemari makanan atau minuman anak-anak kita. Oleh karena itu, kita bisa mulai memikirkan alternatif peralatan lain seperti menggunakan bahan kaca, stainless steel atau silicone,” jelasnya.
Adapun dr. Darrell Fernando, SpOG selaku Dokter Spesialis Kandungan menambahkan, meski konsumsi BPA dalam dosis tertentu masih aman, namun ada baiknya untuk menghindari bahan-bahan yang mengandung BPA.
“Dalam kehamilan, BPA dapat menyebabkan berbagai komplikasi kehamilan dan gangguan pertumbuhan janin. Tak hanya itu, paparan BPA sejak dalam kandungan dikhawatirkan memiliki dampak jangka panjang terhadap perkembangan anak,” jelasnya.
Agar penggunaan BPA masih dalam batas wajar dan menghindari dampak yang berarti, ternyata beberapa negara telah menetapkan regulasi mengenai Tolerable Daily Intake (TDI) dan batas Specific Migration Limit (SML).
Regulasi ini berguna untuk mengatur jumlah maksimum kontaminasi BPA setiap harinya.
Beberapa negara tersebut, antara lain; Eropa, Amerika Serikat, Korea Selatan, Jepang, China dan Indonesia.
Dalam pelaksanaannya, beberapa negara memiliki kebijakan masing-masing.
Adapun sebagai dukungan atas kebijakan TDI dan SML, kini banyak produsen kemasan telah menggunakan alternatif bahan yang lebih aman.
Sudah banyak ditemukan peralatan sehari-hari yang berlabel BPA Free atau Food Grade.
Kehadiran label tersebut menandakan bahwa kemasan aman jika harus berkontak langsung dengan makanan atau minuman.
Meski demikian, kemasan-kemasan dengan label tersebut dikatakan masih bisa mengandung zat BPS atau Bisphenol-S yang sama buruknya dengan BPA.
“Sebagai seorang ibu rumah tangga, saya selalu selektif dalam memilih kemasan untuk anak-anak. Hal ini dimulai dari peralatan makan mereka hingga barang-barang yang mereka gunakan untuk beraktivitas sehari-hari. Selama di rumah, biasanya kami lebih sering menggunakan peralatan yang memiliki label BPA Free atau alternatif bahan lain seperti stainless steel,” ungkap Nucha Bachri, sebagai Ibu Rumah Tangga Milenial.
Desak Made Lidya Metasari menambahkan, kini para orang tua bisa memulainya dengan menghindari penggunaan barang-barang berbahan plastik, memperhatikan kode resin atau kode plastik pada kemasan, menghindari memanaskan makanan yang dikemas dalam wadah plastik dan menghindari makanan dan minuman dalam kemasan kaleng. (Edi Triyono)