Jakartakita.com – Indonesia sebagai salah satu negara penghasil emisi terbesar di dunia dituntut untuk menurunkan konsumsi energi fosil dengan melakukan transisi energi secepatnya, khususnya di sektor kelistrikan.
Tahun 2020-2021 merupakan waktu yang krusial untuk memulai proses transisi energi Indonesia. Pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19 seharusnya dapat diselaraskan dengan pembangunan rendah karbon.
Namun, berdasarkan data yang dihimpun oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2021, disebutkan bahwa, pemerintah Indonesia masih belum beranjak dari pengembangan energi fosil.
Hal ini terlihat dari upaya penyelamatan ekonomi Indonesia dari dampak krisis COVID-19, dimana Pemerintah mengalokasikan dana sebesar 6,76 miliar dollar untuk bidang energi, namun hanya 3.5% untuk energi bersih.
Pemerintah juga tetap merencanakan untuk melanjutkan pengembangan industri hilir batu bara dengan sembilan usulan insentif yang dibahas di tiga kementerian yang berbeda.
Padahal, inisiatif tersebut berpotensi menjadi beban anggaran pemerintah, seiring dengan risiko proyek hilirisasi batu bara yang tinggi dan semakin terbatasnya investasi sektor batu bara.
Di sisi lain, pandemi COVID-19 menyebabkan Indonesia mengalami penurunan permintaan konsumsi listrik yang signifikan dan juga kelebihan pasokan listrik dalam negeri.
Bahkan, diperkirakan pertumbuhan permintaan untuk beberapa tahun ke depan lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan dalam lima tahun terakhir, berkisar antara 4–4,5% per tahun.
“Oleh sebab itu, strategi untuk mendorong transisi energi perlu mempertimbangkan pertumbuhan permintaan listrik yang lebih rendah, sehingga pembangunan energi terbarukan merupakan prioritas serta mempensiunkan pembangkit listrik tenaga fosil, khususnya batu bara, perlu segera dipertimbangkan,” ungkap Fabby Tumiwa selaku Eksekutif Direktur IESR dalam keterangan pers, Selasa (26/1).
Ditambahkan, faktor kuat lainnya untuk melakukan transisi energi, berasal dari hasil pemodelan Institute for Essential Services Reform (IESR) terhadap RUPTL 2019-2028 yang menunjukkan bahwa, emisi gas rumah kaca (GRK) PLTU batu bara dapat mencapai lebih dari 300 juta ton CO2e sebelum tahun 2028.
Bahkan di tahun 2022, Indonesia diproyeksikan akan melampaui jalur emisi GRK 2° C.
Padahal sejak 2016, Indonesia telah meratifikasi Kesepakatan Paris, melalui UU No 16/2016 dan pemerintah sudah menyerahkan Nationally Determined Contribution (NDC) ke UNFCCC sebagai tindak lanjut komitmen tersebut.
Oleh karena itu, negara terikat secara hukum untuk memenuhi target perubahan iklim global dan harus memprioritaskan upaya untuk mengurangi emisi GRK secara signifikan.
“Pemerintah sepatutnya menggunakan momentum ini dengan membuat kebijakan agresif untuk memenuhi komitmen Kesepakatan Paris agar suhu bumi terjaga di bawah 1.5o C,” jelas Fabby.
Asal tahu saja, pada laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2021, IESR mendesak Presiden Jokowi dan menteri sektoral terkait untuk segera memperkuat komitmen politiknya untuk melakukan transisi energi, dimulai dengan sektor kelistrikan.
Adapun komitmen transisi energi ini diwujudkan dengan akselerasi pengembangan energi terbarukan dan peningkatan ambisi dari target penurunan emisi gas rumah kaca dalam NDC Indonesia yang selaras dengan target dan kerangka waktu Kesepakatan Paris menuju net-zero emission pada pertengahan abad ini.
Komitmen ini diwujudkan dalam penguatan ekosistem untuk mendukung transisi energi, termasuk diantaranya meningkatkan daya tarik untuk mendorong investasi proyek pembangkit listrik energi terbarukan sebesar $3-5 miliar/tahun sampai dengan 2025, melakukan moratorium pembangunan PLTU batu bara, mempercepat penutupan secara berkala PLTU batu bara di bawah umur 20 tahun, serta pengembangan kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan.
“Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Pemerintah mempunyai target 23% bauran energi terbarukan di 2025. Menurut analisa IESR, untuk mencapai target tersebut, Indonesia harus menambah kapasitas energi terbarukan setiap tahun sekitar 2 – 3 GW hingga tahun 2025,” ungkap Fabby.
Sedangkan IESR memprediksi, penambahan kapasitas baru hanya sekitar 400-500 MW tahun ini, terutama yang berasal dari proyek panas bumi dan pembangkit listrik tenaga air.
“Untuk itu, pemerintah patut mempertimbangkan pengembangan energi terbarukan yang juga berpotensi besar seperti PLTS baik secara industri maupun rumah tangga,” jelasnya lagi.
Sementara itu, hasil asesmen pada Kerangka Kesiapan Transisi (Transition Readiness Framework) yang IESR kembangkan dan perkenalkan dalam IETO 2021 menunjukkan, bahwa secara umum Indonesia masih mempunyai pekerjaan rumah yang besar untuk mendorong proses transisi energi.
Pada kerangka kesiapan transisi tersebut, IESR telah mengidentifikasi permasalahan yang ada dalam empat dimensi utama, yaitu; dimensi politik dan regulasi, investasi dan pendanaan, tekno-ekonomik, dan sosial.
Kerangka tersebut akan dapat membantu melacak kemajuan Indonesia dalam mengatasi tantangan transisi energi Indonesia dari tahun ke tahun.
IETO 2021 sendiri merupakan transformasi dari laporan Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO) yang telah secara rutin IESR hasilkan untuk memantau perkembangan energi bersih.
“Rebranding ICEO menjadi IETO dilakukan dalam rangka menegaskan dan merefleksikan misi IESR dalam mendukung akselerasi pembangunan energi bersih dan mengurangi porsi energi fosil di tanah air dalam kerangka transisi energi,” jelas Fabby.
Laporan IETO 2021 ini, lanjut Fabby, tidak hanya fokus menganalisa perkembangan energi bersih, namun juga mulai menyoroti dinamika dan penerapan kebijakan pemerintah di energi fosil dalam memberikan gambaran yang jelas sejauh mana Indonesia berjalan pada jalur transisi energi yang kini semakin progresif tidak hanya di dunia, tetapi juga di Asia Tenggara.
Di kesempatan yang sama, Deon Arinaldo selaku penulis utama dalam laporan IETO 2021 menjelaskan, bahwa kerangka kesiapan transisi IESR dibangun dengan mengadaptasikan beberapa kerangka pengukuran transisi energi global dan juga disesuaikan dengan tantangan transisi energi yang unik yang ada di Indonesia.
Dalam melakukan asesmen kerangka tersebut, IESR melakukan analisis serta wawancara dan survei kepada berbagai pemangku kepentingan di sektor ketenagalistrikan sehingga dapat merefleksikan progres transisi energi Indonesia secara lebih inklusif.
“Pemerintah dapat menggunakan kerangka kesiapan transisi sebagai alat bantu dalam mengidentifikasi isu-isu yang dihadapi selama ini sehingga dapat memfokuskan upaya dalam mengakselerasi proses transisi energi Indonesia,” terang Deon. (Edi Triyono)