Jakartakita.com – Kecelakaan yang terjadi pada Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Chernobyl 35 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 26 April 1986, masih menyisakan trauma bagi masyarakat dunia.
Kecelakaan yang terjadi di Ukraina, yang saat itu masih bergabung dengan Rusia, dapat dikatakan sebagai kecelakaan nuklir terparah sepanjang sejarah dan memberikan konsekuensi kemanusiaan, lingkungan, sosial dan ekonomi yang serius.
Kecelakaan ini menyebabkan adanya penyebaran awan radioaktif ke seluruh wilayah timur laut Eropa.
Untuk memastikan adanya dampak dari penyebaran awan radioaktif tersebut, dua tahun setelah kecelakaan, tepatnya 11 Mei 1988, pemerintah Uni Soviet menyelenggarakan Konferensi Internasional yang membahas Aspek Medik dari Kecelakaan Chernobyl.
Selain itu, Badan Tenaga Atom Internasional atau International Atomic Energy Agency (IAEA) turut membahas dampak kecelakaan nuklir ini melalui konferensi internasional.
Kesimpulan dari kedua konferensi ini dituangkan dalam laporan yang dipublikasikan oleh United Nations Scientific Committee on the Effects of Radiation (UNSCEAR) tahun 2008.
UNSCEAR merupakan lembaga internasional yang diberi mandat oleh Sidang Umum PBB, untuk memperkirakan tingkat dan efek paparan radiasi akibat kecelakaan PLTN Chernobyl.
“Pada tahun 1996 diadakan konferensi yang membahas tingkat kontaminasi radioaktif di wilayah yang terkena dampak kecelakaan dan mengevaluasi tindakan yang telah diambil dalam memelihara kesehatan penduduk, sementara konferensi tahun 2003 membahas operasi pemulihan dan kelanjutan upaya pengkajian radiologik terhadap daerah yang terkena dampak,” kata Peneliti Senior Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Eri Hiswara, dalam keterangan pers, Senin (26/04).
Lebih lanjut Eri Hiswara mengungkapkan, fakta jumlah korban kecelakaan PLTN Chernobyl tertuang di dalam laporan UNSCEAR.
“Sebanyak 28 orang meninggal akibat dosis radiasi tinggi, 134 orang staf dan pekerja darurat menerima dosis radiasi tinggi yang mengakibatkan terjadinya sindroma radiasi akut atau acute radiation syndrome (ARS), dan banyak diantaranya juga menderita kerusakan kulit akibat penyinaran radiasi beta,” jelas Eri Hiswara.
Ditambahkan, sebanyak 19 penyintas ARS meninggal hingga tahun 2006, namun kematiannya akibat berbagai sebab dan tidak berkaitan dengan radiasi.
Kerusakan kulit dan katarak akibat radiasi merupakan dampak terbesar untuk para penyintas ARS.
Lebih lanjut ia menjelaskan, kontaminasi susu dari radioisotop I-131 yang tidak segera ditangani mengakibatkan diterimanya dosis tinggi pada tiroid dari anggota masyarakat umum yang menyebabkan terjadinya lebih dari 6.000 kanker tiroid teramati dan di antara mereka yang masih anak-anak atau remaja saat kecelakaan terjadi.
“Sampai tahun 2008, belum ada bukti yang meyakinkan tentang efek kesehatan lainnya pada populasi umum yang dapat dikaitkan dengan paparan radiasi,” jelasnya.
Lebih lanjut disampaikan, kecelakaan PLTN Chernobyl ini merupakan tragedi yang amat disayangkan. Kecelakaan ini dasarnya murni karena keteledoran manusia, yakni operator, yang melakukan suatu eksperimen pada daya reaktor tingkat rendah atau di bawah daya nominal sebelum reaktor dimatikan. Sebenarnya reaktor Chernobyl saat itu sudah dilengkapi dengan sistem otomatisasi, namun untuk kepentingan eksperimen sistem otomatisasi yang menghambat penurunan daya dimatikan.
“Dengan matinya sistem otomatisasi, penurunan daya yang dilakukan secara manual ternyata melampaui batas keselamatan yang dipersyaratkan sehingga terjadi lonjakan energi yang sangat besar. Lonjakan energi ini kemudian mengakibatkan pecahnya tangki reaktor yang diikuti dengan kebakaran yang hebat dan terlepasnya partikel radioaktif ke udara,” ungkapnya.
Walhasil, kecelakaan Chernobyl telah mengubah pandangan dan sikap masyarakat nuklir dunia terhadap keselamatan nuklir. Berbagai standar dan strategi untuk menyempurnakan keselamatan nuklir dan radiasi, tanggap darurat dan mitigasi bencana telah dikembangkan dan menjadi fokus kegiatan IAEA.
“Banyak instrumen hukum terkait keamanan yang juga dikembangkan dan diadopsi untuk meningkatkan keselamatan dan keamanan nuklir pada tingkat global dan domestik. Sisi pertanggungjawaban finansial akan kerugian nuklir juga disempurnakan melalui rencana aksi untuk keselamatan nuklir,” lanjutnya.
Dari sisi teknologi, terang Eri Hiswara, telah dikembangkan konsep atau pendekatan pertahanan berlapis dengan sistem keselamatan berlipat (multiple safety systems) yang melengkapi fitur alami dari teras reaktor.
Aspek utama pertahanan berlapis, antara lain; desain dan konstruksi yang bermutu tinggi, peralatan yang dapat mencegah gangguan operasional atau keteledoran dan kesalahan manusia, pemantauan menyeluruh dan pengujian rutin untuk mendeteksi kegagalan peralatan atau operator, sistem yang redundan dan beragam untuk mengendalikan kerusakan bahan bakar dan mencegah pelepasan radioaktif yang signifikan, dan ketentuan untuk membatasi efek kerusakan bahan bakar yang parah atau masalah lainnya pada instalasi itu sendiri.
Adapun kecelakaan PLTN Chernobyl, jelas Eri Hiswara, harus dikenang, bukan untuk menyesali apa yang telah terjadi, namun untuk mengingatkan bahwa kita harus selalu memberikan perhatian yang tertinggi dalam hal keselamatan dan keamanan saat memanfaatkan teknologi nuklir, terutama PLTN.
“Dunia telah belajar banyak dari kecelakaan ini, dan penyempurnaan juga telah banyak dilakukan tidak saja dari sisi ketentuan legal namun juga dari sisi teknologinya, agar PLTN dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat dunia,” pungkasnya. (Edi Triyono)