Jakartakita.com – Berbicara tentang Yenny Wahid tidak akan jauh-jauh dari ingatan kita akan sosok KH. Abdurrahman Wahid – yang akrab disapa Gus Dur, Presiden Republik Indonesia ke-4.
Tumbuh besar dalam lingkungan Nahdlatul Ulama, membuat pola pikir Yenny Wahid selalu mengedepankan Islam, menghargai perbedaan, dan mengedepankan perdamaian.
Pemilik nama lengkap Zannuba Ariffah Chafsoh ini merupakan seorang aktivis Islam sekaligus politisi.
Pada September 2004 silam, Yenny Wahid mendirikan Wahid Foundation, sebuah yayasan yang hadir untuk memfasilitasi dialog serta membangun pemahaman antara Islam dengan agama dan budaya lainnya.
Tidak sampai di situ saja, yayasannya itu juga mendorong kemunculan aktivis-aktivis muda dalam mewujudkan komitmen seorang Gus Dur.
Perjuangan Gus Dur semasa hidupnya juga tidak bisa dipandang sebelah mata.
Orang yang pernah menjabat sebagai Ketua Nahdlatul Ulama serta Presiden Republik Indonesia ini, masih meninggalkan jejak bersejarah yang masih bisa kita rasakan hingga detik ini.
Gus Dur juga terkenal dengan ungkapan ‘Gitu aja kok repot’. Ungkapan itu berasal dari fikih Islam, “Yasir Wa La Tu Asir,” yang artinya, ‘permudah dan jangan dipersulit’.
Menurut Gus Dur, kita tidak perlu memusingkan hal yang kecil untuk mencapai tujuan besar.
Gus Dur pernah mengatakan, bahwa Indonesia bisa menjadi negara yang luar biasa, bila tidak memusingkan hal-hal kecil.
Saat menjabat sebagai Presiden, Gus Dur menjadikan Imlek sebagai hari libur bagi mereka yang merayakannya.
Pada era kepemimpinannya, Gus Dur juga berhasil menambah jumlah agama yang diakui di Indonesia dari lima menjadi enam, seiring dengan ditambahkannya agama Kong Hu Cu sebagai salah satunya.
Sebelumnya, selama puluhan tahun penganut Kong Hu Cu tidak bisa mengklaim hak mereka sebagai umat beragama di Indonesia, lantaran keyakinannya tidak diakui oleh negara.
Adapun Yenny Wahid pernah menyebutkan, setidaknya ada lebih dari 200 kasus pelanggaran kebebasan beragama yang ditujukan pada kelompok minoritas di Indonesia sampai tahun 2017.
Permasalahannya beragam, akan tetapi yang sering terjadi adalah persekusi dan diskriminasi oleh kelompok mayoritas di daerah tertentu.
Meskipun Indonesia disebut memiliki mayoritas penduduk muslim terbesar, akan tetapi diskriminasi kepada kelompok muslim tertentu juga kerap terjadi, khususnya di daerah terpencil.
Perempuan kelahiran Jombang, 29 Oktober 1974 silam ini juga menyebutkan, bahwa bentuk diskriminasi yang biasa dilakukan terhadap kelompok minoritas yakni perlakuan kurang menyenangkan jika kelompok tersebut menjalankan ibadah dan mengakses fasilitas publik. Sebut saja yang pernah dialami oleh Jamaah Ahmadiyah Indonesia, kelompok yang dianggap sebagai pelaku ajaran sesat atau menyimpang.
Saat menjabat sebagai Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU), Gus Dur terbukti konsisten dalam memperjuangkan paham kebangsaan NU, yang mana mampu menjadi jembatan antara umat Islam dan umat keagamaan lainnya terkait menghargai perbedaan satu sama lain.
Dari Gus Dur-lah, Yenny belajar bahwa memperjuangkan keadilan dan kesetaraan merupakan salah satu wujud dari nilai kemanusiaan yang ada dalam kehidupan.
Sama halnya seperti yang dilakukan sang ayah, dalam kiprah politiknya, Yenny Wahid selalu menjadikan nilai-nilai yang diajarkan mendiang Gus Dur sebagai pedoman dalam menentukan langkah terkait keputusan politik.
Sebagai anak sekaligus pengikut garis politik Gus Dur, ia tentu harus mengedepankan idealisme. Bukan apa-apa, semuanya dilakukan hanya untuk kepentingan bangsa dan negara.
Menyinggung soal idealisme, Yenny Wahid sadar betul jika hal tersebut terkadang menyulitkan seseorang untuk memperoleh kursi khusus di politik.
Walau begitu, Yenny yakin dengan menjaga rasa idealismenya, ia akan terus bisa memperjuangkan kepentingan orang kecil di Tanah Air.
Perempuan yang kini menjabat sebagai Komisaris Garuda Indonesia ini, pernah menyinggung, jika latar belakangnya mendirikan Wahid Foundation tak lain karena ia ingin meneruskan perjuangan Gus Dur.
Kala itu, ayahnya sudah sering sakit-sakitan. Sebagai seorang anak, Yenny Wahid tidak ingin kiprah yang sudah banyak dilakukan ayahnya, hanya menjadi kenangan saja. Ia ingin melakukan langkah nyata dalam hal aktivisme, toleransi, dan perdamaian.
Sudah berjalan selama 16 tahun, sejak awal berdirinya Wahid Foundation, Yenny Wahid rutin menggelar berbagai kegiatan, seperti diskusi, seminar, forum dialog, hingga konferensi.
Adapun acara yang pernah digelar Wahid Foundation, meliputi Makrab Lintas Iman dengan tema “Semangat Toleransi untuk Membangun Perdamaian dan Menjunjung Tinggi Kemanusiaan” di SMAN 11 Semarang pada Desember 2019 lalu, Workshop Pengembangan Budaya Damai di Sekolah yang digelar di Bima, NTT, pada November 2019, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Selanjutnya, pada 2012, Yenny Wahid mulai menjalankan sebuah koperasi yang dibuat dengan tujuan agar bisa mengatasi intoleransi lewat pendekatan ekonomi yang dinamakan Koperasi Cinta Damai. Koperasi tersebut hadir untuk membantu masyarakat miskin dan tertinggal lewat program kredit usaha mikro.
Untuk menjalankan program tersebut, Yenny Wahid membuat sistem keanggotaan yang dibagi menjadi beberapa kelompok, yang berisi orang-orang yang kalangan suku, agama, dan keyakinan yang beragam.
Kembali lagi pada Wahid Foundation, yayasannya juga berupaya untuk terus merespon berbagai kampanye konservatif gender dan narasi berbau Islam yang dianggap masih kaku di kalangan anak-anak muda. Untuk membantah stigma tersebut, ia lantas rutin membuat konten berupa infografis dan narasi tentang Islam yang damai, kesetaraan gender, sampai perubahan iklim.
Sebagai politisi sekaligus ibu dari tiga orang anak perempuan, Yenny Wahid menginginkan kehidupan yang ramah terhadap kaum perempuan.
Lebih dari itu, perempuan berusia 46 tahun ini juga ingin Indonesia menjadi negara yang damai, toleran, dan dipenuhi dengan cinta kasih. Namun, hal tersebut hanya bisa dicapai jika masyarakatnya kuat secara ekonomi, sosial, dan politik.
Bagi Yenny Wahid pribadi, ia percaya jika dirinya sudah menjalani kehidupan yang benar apabila hal yang dilakukannya bisa memberikan dampak positif bagi kehidupan banyak orang, bukan hanya untuk kepentingan dirinya saja.
Penulis: Rizka Septiana, M.Si, IAPR (Akademisi Komunikasi Institut Komunikasi dan Bisnis The London School of Public Relations – Jakarta)