Jakartakita.com – Revisi Permen Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) yang sesuai dengan ekspektasi, bakal pengguna PLTS atap, akan membantu pemerintah mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025 dan meraup dampak ekonomi, sosial dan lingkungan yang besar.
Perbaikan regulasi ini dapat membantu Indonesia melakukan pemulihan ekonomi pasca Covid-19 dan memenuhi komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) seperti yang tercantum dalam Nationally Determined Contribution (NDC).
Adapun hingga akhir tahun 2020, Indonesia baru mencapai sekitar 11,5% bauran energi terbarukan.
Untuk mengejar ketertinggalan dalam 4 tahun ke depan, Institute for Essential Services Reform (IESR) menghitung, setidaknya Indonesia harus membangun 14-18 GW pembangkit listrik energi terbarukan.
“Mencermati rancangan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, kami melihat hingga tahun 2025, tambahan pembangunan energi terbarukan kurang dari 14 GW. Untuk itu, pemerintah semestinya melibatkan masyarakat dan pelaku di luar PLN untuk membangun pembangkit energi terbarukan untuk mencapai target 23 persen tersebut,” ujar Fabby Tumiwa, Eksekutif Direktur IESR dalam keterangan pers, Rabu (28/7).
Menurutnya, upaya gotong royong demi mewujudkan pemanfaatan energi terbarukan yang paling berpotensi dilakukan ialah dengan mendorong adopsi PLTS atap secara besar-besaran.
Apalagi sesuai hasil survei pasar IESR, terdapat potensi pasar sebesar 9% – 11% rumah tangga atau sekitar 7-8 juta yang berminat memasang PLTS Atap.
“Selain itu, harga teknologi PLTS semakin turun dan semakin terjangkau oleh masyarakat,” jelas Fabby.
Sementara itu, dalam proses revisi Permen No.49/2018, pemerintah menyatakan akan memperbaiki beberapa ketentuan, di antaranya: mengubah tarif ekspor-impor listrik net-metering menjadi 1:1, memperpanjang periode menihilkan kelebihan akumulasi selisih tagihan dari tiga bulan menjadi enam bulan, mewajibkan mekanisme pelayanan berbasis aplikasi, memperluas perizinan pemasangan PLTS atap kepada pelanggan di Wilayah Usaha non-PLN, proses perizinan yang lebih singkat serta membangun Pusat Pengaduan Sistem PLTS Atap.
IESR memandang ada upaya perbaikan keekonomian PLTS yang lebih baik dengan ketentuan tarif net-metering 1:1 dari semula 1:0,65. Dari studi pasar yang dilakukan IESR minat masyarakat menggunakan PLTS atap terbilang tinggi, dan mereka mengharapkan kebijakan yang mempermudah perizinan dan proses instalasi serta keekonomian yang memadai. Dengan tarif net-metering 1:1, maka waktu pengembalian investasi PLTS Atap pun dapat dipangkas dari 10 tahun menjadi kurang dari 8 tahun.
Ketentuan ini akan mempengaruhi pemasukan (revenue) PLN tapi tidak signifikan dibandingkan dengan dampak ekonomi, lingkungan dan sosial dari berkembangnya PLTS Atap.
Simulasi IESR1 menunjukkan, bahwa bila terdapat total instalasi 1 GWp PLTS atap, pemasukan PLN hanya akan berkurang 0,58% dengan tarif net-metering 1:1 dan 0,52% dengan tarif 1:0,65. Sebaliknya, PLN akan diuntungkan. Dengan bertambahnya PLTS atap, PLN tidak perlu berinvestasi lebih besar untuk pembangkit energi terbarukan baru guna mengejar target RUEN dan mengurangi beban operasional pembangkit listrik tenaga gas untuk suplai di siang hari – sehingga mengurangi biaya bahan bakar.
Penggunaan listrik dari PLTS atap di pelanggan industri juga akan mengurangi beban subsidi pemerintah.
“Saat ini, PLN mengeluarkan biaya pokok pembangkitan Rp 1.028/kWh. Sementara tarif industri yang disubsidi sebesar Rp 972/kWh. Penggunaan PLTS atap di industri akan mensubstitusi permintaan listrik dari PLN sehingga beban untuk mensubsidi pelanggan industri juga berkurang,” jelas Fabby.
Meski belum disahkan, Fabby Tumiwa, yang juga merupakan Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) mengapresiasi perbaikan tersebut, dan memandangnya sebagai angin segar untuk mendorong berkembangnya pasar dan pengembangan industri PLTS di dalam negeri.
“Selama ini, industri PLTS dalam negeri tidak berkembang karena pasarnya masih kecil, sekitar 20-30 MW/tahun sehingga masih bergantung pada impor. Jika Indonesia mampu mencapai 1-5 GW/tahun maka akan mampu menarik investasi di rantai pasok komponen PLTS, artinya ada industri baru yang menyerap tenaga kerja,” jelas Fabby.
Di sisi lain, instalasi kumulatif 1 GWp PLTS atap dapat menyerap tenaga kerja langsung 20.000 – 30.000 orang per tahun (angka konservatif) serta menurunkan emisi GRK hingga 1,05 juta ton per tahun.
Pengembangan PLTS atap ini akan berguna bagi pemerintah Indonesia dalam memulihkan ekonomi pasca Covid-19.
Pada tahun 2021 ini pula, masa garansi paket Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) untuk tahun program 2018 akan habis. Program pra-elektrifikasi ini menjadi bagian perhitungan rasio elektrifikasi nasional, sehingga pemerintah perlu segera melanjutkan upaya penyediaan akses energinya, misalnya dengan penggunaan PLTS atap dengan minimum kapasitas 0,5 kWp sampai 1 kWp – yang bisa digunakan untuk kegiatan produktif masyarakat.
“Kajian USAID untuk Kementerian ESDM juga menemukan dampak ekonomi yang besar mencapai USD 18 juta dalam setiap instalasi 2.000 PLTS atap untuk kapasitas rata-rata 4,5-5 kWp. Secara nasional, hal ini akan menggerakkan kembali kondisi perekonomian lesu. Manfaatnya jauh lebih besar kepada masyarakat dibanding potensi hilangnya pendapatan PLN,” tukasnya.
Kementerian ESDM kabarnya juga telah mengusulkan PLTS atap menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan target 3.6 GW di tahun 2025. Dengan demikian, revisi Permen No.49/2018 sangat menentukan untuk mendukung pencapaian target tersebut. (Edi Triyono)