Jakartakita.com – Mendorong pemanfaatan PLTS menjadi cara strategis pemerintah untuk mengejar target bauran energi terbarukan sebesar 23%, yang akan jatuh tempo 4 tahun lagi (2025).
Namun demikian, Institute for Essential Services Reform (IESR) menghitung kapasitas energi terbarukan dalam draft RUPTL terbaru hanya bertambah sekitar 9 GW, padahal untuk mencapai target 23% perlu tambahan 14 GW.
Dalam jumpa pers virtual, Selasa (31/8), Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mengatakan, mencermati besarnya potensi PLTS di Indonesia (207 gigawatt/GW menurut KESDM dan 20.000 GW menurut IESR) serta keekonomian PLTS yang semakin baik, adalah tepat memprioritaskan pengembangan PLTS secara masif di Indonesia.
“PLTS dapat mengisi kekurangan ini. Harga semakin kompetitif, teknologinya memungkinkan pemasangan secara cepat, baik skala besar maupun skala kecil. Pencapaian target bauran energi terbarukan dapat tercapai dengan partisipasi masyarakat secara gotong royong. Perguruan tinggi sebagai pusat pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dapat mendorong percepatan tercapainya target dengan memasang PLTS atap dan mendorong pengembangan industri PLTS dalam negeri melalui penelitian dan pengembangan serta mempersiapkan mahasiswa yang tangguh. Adapun perguruan tinggi dapat berinovasi dalam membangun sistem dan kapasitas sumber daya manusia dan inovasi untuk mendukung pemanfaatan PLTS,” beber Fabby.
Di kesempatan yang sama, Prof. Dr.-Ing. Drs. Ir. Mitra Djamal, Rektor Institut Teknologi Sumatera – yang telah bekerja sama dengan perusahaan pengembang untuk membangun 1 MWp PLTS di kampus, memandang bahwa pengembangan PLTS harus disertai regulasi yang mendukung dari pemerintah.
“Dukungan aturan dan keberpihakan dibutuhkan dalam upaya mempercepat kemajuan industri surya di Indonesia untuk menghasilkan produk yang kompetitif,” ujar Mitra Djamal.
Sementara itu, Eko Adhi Setiawan selaku Direktur Tropical Renewable Energy Center Universitas Indonesia mengungkapkan, peran penting perguruan tinggi lainnya adalah menyuarakan pandangan objektif terhadap pengembangan PLTS di Indonesia dan mendorong kontribusi masyarakat.
“Survei yang kami pernah lakukan dengan mendata, tercatat sebanyak 80% responden di Jabodetabek ingin memasang PLTS, namun informasi tentang PLTS tersebut masih sangat kurang. Sebenarnya, hal ini bisa menjadi peluang bisnis untuk PLN untuk menggarap pasar PLTS atap, karena masih ada kecenderungan masyarakat lebih percaya PLN jika terkait dengan listrik,” tuturnya.
Eko juga memprediksi, dengan berkembangnya pasar PLTS akan mengubah model bisnis PLN di masa depan.
“Sistem energi masa depan akan lebih terdesentralisasi dan mengarah ke digitalisasi. Model bisnis PLN bisa jadi akan berubah dengan menyewakan jaringan karena aset itu yang sudah dimiliki PLN,” jelasnya.
Adapun Rachmawan Budiarto selaku Direktur Center for Development of Sustainable Region (CDSR) Pusat Studi Energi (PSE, Universitas Gadjah Mada) mengungkapkan, peluang lain yang bisa dimanfaatkan PLN saat pemanfaatan PLTS atap semakin besar adalah penyediaan jasa operasional dan perawatan.
“Prosumer (producer – consumer) membutuhkan kejelasan dan kemudahan prosedur, juga regulasi yang menarik atau meningkatkan keekonomian. Sharing comfort zone antara PLN, ESDM, dan pihak swasta harus terjadi dalam transisi energi. PLN dan prosumer bermitra bukan bersaing untuk mencapai target energi terbarukan yang lebih besar. Pencapaian target energi terbarukan tidak harus bergantung sepenuhnya pada APBN, target ini bisa dicapai dengan prakarsa mandiri (gotong royong) salah satunya melalui pemanfaatan PLTS atap,” tegas Rachmawan.
Menyoroti masalah intermitensi PLTS, Eko menjabarkan bahwa persoalan tersebut tidak perlu dikhawatirkan.
Menurutnya, data cuaca dan irradiasi matahari, keluaran listrik PLTS (PV output), pola penggunaan listrik PLTS bisa diamati dan dikumpulkan sehingga bisa dilihat polanya.
Dengan mengetahui pola-pola ini, maka perencanaan sistem kelistrikan bisa dilakukan dengan mengakomodasi penetrasi tersebut; bisa dengan teknologi forecasting untuk distribusi suplai-permintaan, juga sistem penyimpanan yang optimum.
Mendukung pernyataan Eko, Ida Ayu Dwi Giriantari selaku Kepala CORE (Center of Excellence Community Based Renewable Energy), Universitas Udayana mengungkapkan, bahwa saat ini intermitensi masih bisa diatasi oleh jaringan PLN.
“Selama ini, dari segi jaringan, PLN selalu mengatakan, PLTS memiliki intermitensi tinggi dan jaringan PLN belum siap. Dari simulasi yang dilakukan, saat PLTS masuk di jaringan menengah tidak banyak ada kendala, penetrasi PLTS atap di banyak titik penyulang di Bali tidak terlihat mengganggu jaringan. Tentunya jika Bali mau serius 100% energi terbarukan, perlu dibuat perencanaan dan mungkin up grade jaringan,” pungkas Ida. (Edi Triyono)