Jakartakita.com – Komitmen Indonesia yang tidak selaras dengan Persetujuan Paris, dengan tidak menaikkan target mitigasi pada Nationally Determined Contribution (NDC) termutakhir, dan hanya menargetkan netral karbon di tahun 2060 pada dokumen Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR), diprediksi akan membawa dampak yang merugikan bagi lingkungan dan ekonomi Indonesia di masa depan.
Asal tahu saja, Indonesia termasuk 20 besar negara yang terdampak parah akibat dampak perubahan iklim berupa cuaca ekstrim.
Ditambah lagi, di tengah tren perdagangan dunia yang semakin mengedepankan aspek green pada produk manufakturnya, industri Indonesia harus bersaing dengan negara di dunia yang telah lebih dulu mengembangkan teknologi energi terbarukan dan berbagai kebijakan untuk mengurangi emisi karbon selambatnya pada 2050.
Untuk menghindari hal tersebut, perlu dukungan sosial politik yang jelas dan tepat, untuk mengawal proses transisi energi.
Hal ini diungkapkan oleh Prof. Dr. Kuntoro Mangkusubroto, Ketua Dewan Penasihat Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) saat membuka perhelatan tahunan Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2021 yang diselenggarakan oleh ICEF dan Institute for Essential Services Reform (IESR).
“Bagi negara berkembang seperti Indonesia, penghentian pengembangan energi bahan bakar fosil sangat penting, karena jika tidak, akan terlambat dan terlalu mahal untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan polusi udara,” jelasnya, dalam jumpa pers virtual, Senin (20/9).
Menurutnya, pemerintah Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah yang penting, di antaranya untuk segera menyusun rencana energi nasional yang terintegrasi, memitigasi dampak transisi energi terhadap industri bahan bakar fosil, menggunakan teknologi rendah karbon dalam industri transportasi, dan mempertimbangkan prinsip berkeadilan selama masa transisi.
Di kesempatan yang sama, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR juga menekankan, bahwa berdasarkan studi Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System yang dikeluarkan oleh IESR, Indonesia mampu untuk mencapai target Persetujuan Paris netral karbon pada 2050.
Dekade ini menjadi penting, karena Indonesia harus segera mencapai puncak emisi di sektor energi pada tahun 2030 dan mendorong bauran energi terbarukan di sektor ketenaga-listrikan mencapai 45%.
“Ini menyiratkan bahwa pengembangan dan investasi energi terbarukan harus ditingkatkan 7 hingga 8 kali lipat dari keadaan saat ini, termasuk efisiensi energi di sisi permintaan, dan mulai menghentikan pembangkit listrik termal untuk mengakomodasi energi terbarukan skala besar, dan modernisasi jaringan kita,” ucap Fabby.
Adapun Suharso Monoarfa, Menteri PPN/Kepala Bappenas dalam kata sambutannya di IETD 2021 mengatakan, bahwa Pemerintah Indonesia menyadari bahwa proses transisi energi perlu dilakukan untuk mengurangi emisi karbon.
Ia mengungkapkan, beberapa langkah yang akan ditempuh untuk dekarbonisasi sistem energi Indonesia adalah dengan mempercepat upaya peralihan ke energi terbarukan dan pengembangan energi baru terbarukan.
“Strategi lainnya ialah dengan program efisiensi energi dengan mempertimbangkan keselarasan antara pengaturan sumber dayanya, variabel kebijakan keuangan, dan peran seluruh sektor,” jelasnya.
Sementara itu, Arifin Tasrif selaku Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menambahkan, bahwa berdasarkan skenario yang telah disusun oleh pemerintah, bahwa kebutuhan listrik di tahun 2060 akan menjadi 1885 TWh. Untuk memenuhi kebutuhan listrik dan mencapai net zero emisi tersebut, beberapa langkah kebijakan yang diambil diantaranya, phasing out PLTU batu bara, pengembangan energi baru terbarukan secara masif, pengembangan interkoneksi super grid Indonesia dan pelaksanaan konservasi energi.
“Semua kebutuhan listrik tersebut akan sepenuhnya dipasok oleh pembangkit listrik tenaga energi baru terbarukan pada tahun 2060. Penambahan kapasitas variabel energi terbarukan, seperti surya dan angin, secara masif akan dilakukan mulai tahun 2031. Sementara pemanfaatan energi panas bumi dan hidro akan juga dioptimalkan agar mampu menjaga keseimbangan sistem,” ungkap Arifin Tasrif.
Sedangkan Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM mengemukakan, salah satu tantangan untuk mewujudkan Indonesia bebas emisi pada 2050 adalah memobilisasi semua sektor, tidak hanya sektor energi.
“Saat ini di sektor ketenagalistrikan sudah ada teknologinya, sementara di sektor non listrik masih memerlukan pendalaman yang lebih khusus. Pengembangan energi terbarukan sekarang sudah mulai dikerjakan, seperti proyek panas bumi,” jelasnya.
IETD 2021 berlangsung selama lima hari, dari tanggal 20-24 September. Acara ini bekerja sama dengan Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia (CASE) sebuah proyek kemitraan dari beberapa negara di Asia Tenggara dan didanai oleh Pemerintah Federasi Jerman. (Edi Triyono)