Jakartakita.com – Naskah Jawa Kuno Klasik di abad 16 -18 merupakan salah satu aset nasional yang berisi tentang pengetahuan budaya nenek moyang masyarakat lokal.
Hingga saat ini, penelitian dan informasi tentang naskah kuno itu sendiri masih rendah, karena kurangnya orang yang berkecimpung dalam hal ini.
Adapun keberadaan naskah-naskah kuno saat ini tersebar di masyarakat, museum-museum, maupun perpustakaan nasional. Namun saat ini, kondisi dari naskah-naskah Jawa Kuno Klasik yang tersebar di masyarakat dalam keadaan rusak, dan tidak terpelihara dengan baik.
Bahkan, banyak naskah Jawa Kuno Klasik di Indonesia yang saat ini belum diketahui lokasi pastinya. Beberapa bahkan berada di negara lain, seperti; Belanda, Perancis, Jepang, dan Inggris.
“Iya di Belanda juga ada, tapi bentuknya bukan naskah kuno, di sana lebih ke klasik. Kalau yang kuno itu ada di London, dan belum diteliti, salah satunya Kangjeng Kyai Serat Suryorojo gubahan Sultan Hamengkubuwana II yang memaparkan masalah Pedoman Kenegaraan untuk Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang diuraikan dalam bentuk naratif vīracarita,” ujar Fajar Bagoes Poetranto, selaku Trah Sultan Hamengkubuwono II dalam keterangan pers, Senin (20/9).
Bagoes berencana menggandeng Rumah Studi Jawa Makaradhwaja untuk mengembangkan Pusat Skriptorium naskah-naskah klasik kuno dari abad 16 – 18. Adapun rencana pembelajaran akan digelar secara umum dalam waktu dekat.
Sementara itu, Ahli Filologi, KRT Manu J Widyaseputra mengatakan, naskah-naskah yang akan dipelajari dan diterjemahkan antara lain Serat Keramat Kangjeng Kyai Suryorojo, Babad Sepei, Babad Segaluh, Babad Sengkala, Babad Giyanti Brangtakusuman, Serat Arjunawijaya, Serat Ramabadra Jawi, Serat Beksan Menak Mangkarawaten, Serat Srimpi Jemparingan, Babad Sengkala, Serat Bedhaya Tunjung Anom, Serat Arjunawijaya, Serat Ramabadra Jawi, Serat Beksan Menak Mangkarawaten, Serat Srimpi Jemparingan.
“Ada juga Babad Giyanti Brangtakusuman, Serat Menak Brangta, Serat Ménak Rengganis, Serat Menak Ganggamina-Ganggamurti,” jelas Manu, yang juga pendiri Rumah Studi Jawa Makaradhwaja ini.
Sayangnya, lanjut Manu, peminat untuk membaca dan mengerti naskah kuno itu banyak berasal dari luar negeri.
Seperti naskah kuno di museum di Belanda dan Inggris yang dipamerkan tanpa mengerti isinya.
“(Adapun) Jepang mau belajar baca dan menterjemahkan naskah-naskah kuno, tapi mereka bingung kemana belajarnya,” pungkasnya. (Edi Triyono)