Jakartakita.com – Baby Happy, popok bayi sekali pakai andalan Wings Care, menggelar webinar terakhir dari rangkaian program CSR “Baby Happy, Keluarga Happy” Jilid 2 yang bertajuk “Kupas Tuntas Tahapan Perkembangan Bicara Anak & Solusi Atasi Speech Delay”, Selasa (23/11).
Kegiatan ini bertujuan untuk membangun kapasitas orang tua Indonesia melalui edukasi yang tepat untuk tumbuh kembang si kecil yang lebih baik serta membantu memenuhi kebutuhan popok bayi bagi mereka yang membutuhkan.
Dalam kesempatan ini, Baby Happy menyalurkan 50.000 popok untuk anak Indonesia melalui Yayasan Nakula Sadewa dan Yayasan Buddha Tzu Chi.
Sebelumnya, popok Baby Happy juga telah menyalurkan 125.000 popok bayi kepada beberapa yayasan sosial anak-anak.
Menurut Julie Widayawati selaku Marketing Manager Baby Happy (Wings Group Indonesia), inisiatif ini merupakan wujud nyata dukungan serta kepedulian Baby Happy kepada keluarga Indonesia.
“Menjadi orang tua harus memiliki ilmu, tetapi tidak ada sekolahnya. Kami berharap kehadiran Baby Happy dengan bantuan dan edukasi ini dapat membantu orang tua dalam menjalani peran sehari-hari, memberikan insight dari para pakar sehingga anak mereka dapat tumbuh kembang sehat dan optimal,” ujar Julie, seperti dilansir dalam keterangan pers, Selasa (23/11).
Di kesempatan yang sama, dr. Dini Adityarini, Sp.A, Dokter Anak dari RSIA Kendangsari MERR Surabaya mengungkapkan, proses bicara anak kerap kali menjadi kekhawatiran orang tua, khususnya di era pandemi kini, dimana anak-anak memiliki keterbatasan aktivitas bermain bersama teman-teman seumurannya.
Dijelaskan, perkembangan bicara terdiri atas bicara reseptif & bicara ekspresif.
Reseptif artinya anak mengerti bahwa orang lain mengajaknya berkomunikasi.
Ekspresif artinya anak menyatakan pikiran dan pendapatnya dari bentuk yang sederhana sampai yang kompleks.
Sejak lahir, bayi bereaksi terhadap suara. Di usia 3-4 bulan bisa senyum sosial, di usia 4-7 bulan bereaksi terhadap suara (tersenyum, teriak, mengoceh), di usia 8-9 bulan mengerti larangan tidak boleh, melalui gesture atau ekspresi wajah-wajah ayah /ibunya, di usia 14 bulan bayi mengerti tanpa mimik atau gesture dan di usia 17 bulan dapat menunjuk 5 bagian wajah atau tubuh yang ditanyakan.
Itu semua merupakan perkembangan bicara reseptif yang dialami oleh bayi.
Kenali tanda-tanda red flag pada tahapan bicara anak. Waspadai jika bayi usia 0-6 bulan tidak menoleh jika dipanggil namanya dari belakang, dan tidak ada babbling. Pada usia bayi 12 bulan, jika bayi tidak menunjuk dengan jari dan ekspresi wajah kurang.
Pada usia bayi 16 bulan jika tidak ada kata yang berarti.
Dan jika tidak ada kalimat 2 kata yang dapat dimengerti pada usia 24 bulan.
“Pantau tanda waspada pada setiap fase perkembangan bicara anak. Secara umum pada usia berapapun, bawalah anak ke dokter jika ia menunjukkan kemunduran dalam kemampuan berbicara atau kemampuan sosialnya,” ujar dr. Dini Adityarini, Sp.A.
Adapun dr. Luh Karunia Wahyuni, Sp.KFR-K, Dokter Anak & Rehab Medik RSIA Bunda Jakarta yang juga hadir pada webinar ini menjelaskan tentang perbedaan gangguan bicara dan gangguan bahasa.
Gangguan Bicara meliputi: Suara (nada, kenyaringan, resonansi atau kualitas yang disebabkan oleh gangguan struktur), Artikulasi (mengeluarkan suara yang salah – dapat berupa penambahan / pengurangan / distorsi), Kelancaran (Gangguan aliran bicara, biasanya terjadi pengulangan, perpanjangan, disertai ketegangan di wajah, leher, bahu, dan tangan (contoh: stuttering / gagap).
Sedangkan Gangguan Bahasa meliputi: Ekspresif (tidak dapat mengungkapkan ide), Reseptif (kesulitan memahami apa yang dikatakan orang lain), Campuran (ekspresif & reseptif).
Menurutnya, adanya stimulasi yang terorganisir, dan tantangan dengan kesulitan yang meningkat secara progresif, dan stimulasi dalam aktivitas sehari-hari dapat memfasilitasi perubahan otak anak.
“Orang tua harus mengenali milestone & red flag, memberikan screen time yang sesuai dengan usia anak, memperkenalkan anak dengan bahasa ibu terlebih dahulu, dan menstimulasi secara optimal. Bicara sebagai modalitas komunikasi merupakan proses pembelajaran yang kompleks. Dalam proses pembelajaran komunikasi, dibutuhkan stimulasi yang optimal melalui interaksi aktif dengan cara yang menarik. Orangtua memiliki peranan utama dalam perkembangan bicara dan bahasa anak, segera periksakan jika ada red flag,” sambung dr. Luh Karunia Wahyuni, Sp.KFR-K.
Sementara itu, dari sisi psikologi, Saskhya Aulia Prima, Psikolog Anak & Remaja, Co-Founder Tiga Generasi menjelaskan, bahwa ada beberapa dampak yang dirasakan oleh anak speech delay, yaitu mereka lebih sulit mengelola perasaan karena sulit berekspresi; lebih tinggi kemungkinan menarik diri dari lingkungan sosial, kurang percaya diri, dan lebih sulit berkonsentrasi.
“Kabar baiknya adalah sekitar usia 5 tahun, problem perilaku pada anak yang speech delay sering kali tidak ditemukan, dan sekitar 70-80% anak yang mengalami keterlambatan bicara akan berkembang sesuai dengan anak seusianya saat memasuki masa sekolah,” jelas dia.
“Bagi beberapa yang mengalami speech delay memang seringkali mengalami tantangan di area manajemen emosi, kepercayaan diri, dan pergaulan sosial. Walaupun begitu kunci dari kemajuan perkembangan berbicara anak adalah konsistensi pemberian stimulasi dari orangtua yang jumlah waktu bersama anak tentunya lebih banyak dibandingkan dengan terapis wicara. Bukan hanya Ibu, tapi juga peran Ayah sangat besar dalam perkembangan bicara. Hal ini terjadi karena stimulasi kegiatan fisik aktif yang mengasah banyak area otak anak biasanya lebih sering dilakukan Ayah. Oleh sebab itu sangat perlu Ayah sering-sering bermain sambil mengajak anak mengobrol untuk meningkatkan kemampuan bicaranya,” terang Saskhya.
Menutup webinar ini, Julie Widayawati menyampaikan harapan Baby Happy terhadap seluruh keluarga Indonesia khususnya pada anak-anak.
“Kiranya dengan 6 webinar edukasi dalam tahun ini kami dapat membantu orang tua dalam membesarkan anak. Dengan demikian anak bisa selalu aktif bermain, bergerak dengan nyaman sehingga mereka bisa bertumbuh dan berkembang lebih baik lagi,” tutup Julie.