Jakartakita.com – Keluarga besar keturunan Sri Sultan Hamengkubuwono II (Trah HB II), tak kenal lelah untuk terus memperjuangkan Sri Sultan Hamengkubuwono II mendapat gelar Pahlawan Nasional.
Berbagai dukungan dari tokoh politik dan sejarawan pun terus mengalir.
Menurut Fajar Bagoes Poetranto selaku Sekretaris Pelaksana Pengusulan Sri Sultan Hamengkubuwono II Pahlawan Nasional, Sri Sultan Hamengkubuwono II dinilai sangat berjasa ketika peristiwa perang atau Geger Sepehi tahun 1812.
“Karena Keraton diserang tentara Inggris, Sri Sultan Hamengkubuwono II mempertahankan wilayah, kehormatan, harkat dan martabat sebagai Raja sangatlah wajar. Sri Sultan Hamengkubuwono II menjalankan fungsinya sebagai Raja yang melindungi wilayah dan rakyatnya dari gangguan para penjajah kolonial. Jadi Sri Sultan Hamengkubuwono II itu sudah selayaknya disebut sebagai Pahlawan Nasional,” ungkap Fajar Bagoes Poetranto, kepada awak media, Jumat (24/12).
Selain mengumpulkan dukungan dari para sesepuh Trah HB II, tokoh politik dan sejarawan, Trah HB II Bagoes juga mengumpulkan data-data dan informasi melakukan survei ke tempat-tempat yang terkait dengan sejarah dari sosok Sri Sultan Hamengkubuwono II.
Namun, dari hasil survei yang dilakukan sungguh memprihatinkan.
“Kami melihat secara jelas bahwa bukti-bukti sejarah artefak peninggalan Sultan Hamengkubuwono I dan II yang seharusnya dilindungi sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Keraton Yogyakarta pada kenyataannya tidak menjadi perhatian khusus. Buktinya di Gua Siluman, adanya pembiaran kerusakan situs artefak dengan adanya pembuangan limbah industri rumah tangga,” jelas Bagoes.
Tentu saja, hal ini menjadi keprihatinan yang sangat mendalam bagi Bagoes dan tim Trah HB II.
“Kami merasa prihatin. Kami meminta pemerintah provinsi untuk segera melakukan tindakan konkret karena gua siluman menjadi cagar budaya yang dilindungi oleh undang-undang,” katanya lagi.
Menurut Bagoes lagi, situs yang terkait dengan sejarah keberadaan Sri Sultan Hamengkubuwono II dan Kota Yogyakarta harus dipertahankan dan dilestarikan.
“Kalau ada kerusakan dan penghilangan bukti sejarah, siapa yang bertanggung jawab. Kalau tindakan preventif atau melindungi saja kurang, maka kami Trah Sultan Hamengkubuwono II merasa prihatin dengan hal ini. Kami meminta untuk segera melakukan perlindungan yang menyeluruh terhadap artefak atau situs tersebut,” ungkapnya.
Karena itu, lanjut Bagoes, tidak berlebihan bila pihaknya meminta pemerintahan provinsi (Pemprov) Yogyakarta dan Kraton Yogyakarta turun tangan melindungi bukti bersejarah dari era pemerintahan para Sultan Yogyakarta terdahulu.
“Seharusnya Pemprov Yogyakarta dan Kraton Yogyakarta serius melindungi artefak atau situs cagar budaya seperti konservasi alam Sleman yang melakukan pemagaran. Trah Sultan Hamengkubuwono II merasa kecewa dan prihatin terhadap Keraton Yogyakarta dan Pemerintah Daerah Yogyakarta dalam hal penanganan dan menjaga serta merawat atas situs artefak sejarah yang ada di Yogyakarta. Kami meminta Pemprov untuk segera melakukan revitalisasi tempat bersejarah tersebut. Karena itu menjadi bukti sejarah dari cikal bakal berdirinya Keraton Yogyakarta. Situs-situs yang ada merupakan bukti peradaban Mataram, khususnya di masa kesultanan Sri Sultan Hamengkubuwono I dan II,” tegasnya.
Lebih lanjut, Bagoes juga menyebutkan, terhadap pesanggrahan Sonopakis harus segera dilakukan inventarisasi aset.
Apabila terbukti tidak ada kepemilikan yang sah terhadap tanah sekitar situs, maka harus dilakukan tindakan tegas.
“Saya minta Sri Sultan Hamengkubuwono X bertanggung jawab dan segera melakukan revitalisasi situs dan artefak peninggalan Sri Sultan Hamengkubuwono I dan II,” kata dia.
Di samping mengumpulkan bukti-bukti benda bersejarah untuk mendukung penobatan Sri Sultan Hamengkubuwono II menjadi pahlawan nasional, pihaknya juga mengumpulkan data tertulis terkait Hamengkubuwono II.
“Pengumpulan bukti dan data terkait HB II tidak saja dilakukan di Indonesia, tapi juga akan dilakukan ke beberapa museum di Inggris dan Belanda. Kami juga akan meminta negara tersebut untuk mengembalikan manuskrip artefak yang dirampas Inggris pada peristiwa geger sepehi 1812,” tegasnya.
Sementara itu, KRT. Manu J. Widyaseputra, atau akrab disapa Romo Manu juga berpendapat bahwa situs-situs Hamengkubuwono I dan Hamengkubuwono II seperti; Kedhaton Ambarketawang di Ambarketawang, Gamping Sleman; Pesanggrahan Rejakusuma di Desa Sanapakis Utara Kasihan Bantul; Pesanggrahan Umbulharja di Kecamatan Umbulharja, Yogya Kota; Pesanggrahan Guwa Siluman di Gedhong Kuning, Kota Gedhe Yogya Kota; dan Situs Nagabanda di Rejawinangun, Umbulharja, Yogya Kota, merupakan situs yang perlu dilindungi.
“Kedaton Ambarketawang dipergunakan sebagai tempat tinggal HB I dan keluarga sembari menunggu jadinya keraton di Hutan Beringan. Pesanggrahan-pesanggrahan dimanfaatkan oleh HB II untuk samadhi selama persiapan beliau menjadi raja Yogyakarta,” tutur Romo Manu.
Adapun data tentang keberadaan situs-sotus saat ini sudah tidak utuh lagi, sambung Romo Manu, sehingga diperlukan rekonstruksi kelengkapan situs-situs dari sumber-sumber tekstual.
“Babad Ngayogyakarta 1 & 2 agar dapat dimengerti naratif arsitekturalnya, agar kaitannya dengan aktivitas HB II sebagai putra mahkota dan raja Yogya dimengerti dengan utuh. Keutuhan informasi itu merupakan sarana yang sangat penting untuk memahami keberadaan beliau sebagai Nayaka, ‘pahlawan’ bagi Nusantara ini,” tegas Romo Manu.
Romo Manu menegaskan lagi, “Saat ini keberadaan situs-situs HB I dan II tidak terpelihara dengan baik. Terbukti adanya limbah pencucian baju di Guwa Seluman, adanya rumah-rumah yang menempel di benteng Rejakusuma. Padahal ada papan yang memuat undang-undang cagar budaya. Sudah rusaknya Nagabanda yang tadinya berjumlah 2 buah sekarang tinggal 1 dan itupun dalam keadaan sangat rusak, dan sebagainya.”
Ditambahkan, keberadaan Nayaka (pahlawan) nasional perlu dilengkapi atribut-atribut yang sungguh-sungguh komprehensif.
“Kasihan beliau sudah berbuat banyak untuk keharuman dan kejayaan bangsa ini. Tetapi karena masalah administratif saat ini tidak dapat diajukan dan diangkat, sehingga tidak dikenali oleh anak cucunya sendiri,” pungkas Romo Manu. (Edi Triyono)