Jakartakita.com – Closeup, brand pasta gigi gel produksi PT Unilever Indonesia, Tbk., kembali menghadirkan kampanye #SpeakUpforLove yang telah secara konsisten digencarkan sejak 2020.
Berangkat dari hasil studi yang dilakukan Closeup, kampanye ini mengangkat pentingnya memberikan makna yang lebih fresh pada filosofi ‘Bibit, Bebet, Bobot’ melalui serangkaian platform dan aktivitas yang menginspirasi pasangan muda untuk lebih percaya diri menyuarakan isi hati dalam memilih dan menjalani hubungan mereka.
Distya Tarworo Endri selaku Head of Marketing Oral Care Category, PT Unilever Indonesia, Tbk., mengungkapkan, Closeup memiliki purpose menginspirasi pasangan muda untuk mengubah mutual attraction menjadi action, bebas dari keraguan diri atau penilaian orang lain.
“Nyatanya, filosofi ‘Bibit, Bebet, Bobot’ atau 3B masih menjadi tiga kriteria yang turun temurun dipergunakan keluarga dalam menentukan calon pasangan hidup yang terbaik bagi anak mereka. Pemahaman lama mengenai filosofi ini tidak jarang mengakibatkan banyak pasangan utamanya mereka yang menjalin hubungan yang unconventional karena perbedaan mencolok, seperti beda usia, latar belakang ekonomi, atau suku dan ras–terpaksa menyudahi hubungan karena merasa tidak mampu memenuhi harapan dari keluarga maupun lingkungan. Melihat hal ini, Closeup melakukan studi yang memperlihatkan bahwa criteria generasi muda dalam memilih pasangan telah mengalami pergeseran. Mereka lebih mendambakan chemistry secara interpersonal, pemikiran yang luas, dan visi yang sejalan. Usia yang sepantar, latar belakang ekonomi, dan persamaan suku atau ras kini kurang diprioritaskan. Untuk itu, melalui kampanye #SpeakUpforLove, Closeup ingin mengangkat makna lebih fresh dari filosofi 3B, yang sesungguhnya dapat bertransformasi menjadi ‘Berbeda Bertumbuh Bersama’,” terang Distya dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (9/8).
Di kesempatan yang sama, Pingkan Rumondor selaku M.Psi., Psikolog Klinis dan Peneliti Relasi Interpersonal menanggapi, “Pemaknaan ‘Bibit, Bebet, Bobot’ sebagai asal usul, latar belakang ekonomi keluarga, serta pendidikan dan keahlian calon pasangan sesuai dengan tujuan pernikahan di jaman dulu, yaitu untuk mengamankan harta, tanah, dan kedudukan. Ketika itu, cinta tidak termasuk dalam kriteria yang dianggap penting, dan kehidupan seseorang bergantung pada status yang dibawa sejak lahir, bukan diperoleh dengan kerja keras dan keterampilan. Hal ini berevolusi seiring perubahan jaman. Kaum dewasa muda kini punya kesempatan untuk menyampaikan perspektif tentang pasangan pilihan, sehingga diperlukan penyelerasan pandangan antara pasangan, keluarga dan masyarakat. Bagaimana pun, pandangan masyarakat memang menjadi penting karena turut membentuk pendapat pasangan dan keluarga mengenai pemilihan pasangan hidup.”
Studi kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan Closeup melibatkan lebih dari 160 responden dari berbagai wilayah Indonesia terdiri dari mereka yang sedang menjalani hubungan unconventional, orang tua, hingga individu yang masih single memperlihatkan bahwa penilaian dari lingkungan masih menghambat kelanjutan hubungan yang unconventional, sehingga 5 dari 10 orang yang menjalani hubungan tersebut jadi meragukan masa depan hubungannya.
Terkait filosofi 3B, ditemukan bahwa di semua kelompok responden hampir seluruhnya setuju bahwa pedoman ini pada dasarnya masih baik untuk diterapkan.
Namun, hanya 2 dari 10 orang merasa bahwa definisi 3B yang sekarang berlaku masih relevan.
Akhirnya, studi ini menunjukkan bahwa 5 dari 10 orang menginginkan makna yang lebih fresh dari filosofi 3B, yang terangkum sebagai:
Bibit: Memastikan asal-usul seseorang bukanlah untuk memvalidasi stereotype mengenai suku/ras tertentu, melainkan meyakinkan bahwa ia memiliki lingkungan atau support system yang mendorongnya untuk bertumbuh.
Bebet: Latar belakang ekonomi keluarga bukan jaminan masa depan yang cerah, melainkan kemampuan seseorang untuk memaksimalkan potensi diri.
Bobot: Latar belakang pendidikan dan keahlian tidak cukup, harus dipertajam dengan visi dan tujuan yang sama dengan pasangan.
Sementara itu, pasangan selebriti Muhammad Fardhan dan Mikaila Patritz ikut berbagi.
“Selain usia yang terpaut cukup jauh, kami juga berasal dari ras dan suku yang berbeda. Selama pacaran, hal ini menimbulkan pertanyaan atau keraguan dari keluarga dan orang-orang terdekat. Awalnya memang ‘gerah’, tapi karena sering berdiskusi tentang ekspektasi dalam hidup dan pembagian peran antara suami istri, akhirnya kami merasa semakin cocok dan mantap melanjutkan hubungan. Alhamdulillah, kami berhasil meyakinkan semua orang, terutama orang tua, bahwa kami memiliki satu tujuan serta siap untuk saling melengkapi dan tumbuh bersama,” beber Muhammad Fardhan dan Mikaila Patritz.
Pengalaman ini sejalan dengan studi Closeup yang menunjukkan bahwa saat menilai pasangan anak, orang tua akhirnya menginginkan yang terbaik bagi anak dan terbuka untuk berkompromi.
Artinya, komunikasi dan keterbukaan antara orang tua dan anak dalam memilih pasangan adalah hal yang amat penting.
Pesan-pesan positif seperti inilah yang akan disebar luaskan melalui kampanye#SpeakUpforLove.
Sebagai langkah awal, Closeup telah merilis tayangan web series di Tiktok dan Instagram @CloseupID tentang tantangan yang dihadapi tiga pasangan muda dalam menjalani hubungan unconventional. Ditonton oleh lebih dari 50.000 orang, web series ini telah mendapatkan animo yang sangat positif.
Selanjutnya, kemasan Closeup #SpeakUpforLove limited edition juga akan diluncurkan secara eksklusif di pertengahan Agustus mendatang, menampilkan ilustrasi dan pesan unik tentang pasangan muda yang menjalani hubungan unconventional, yang akhirnya mampu bersatu mengatasi tantangan karena persamaan tujuan.
Selain itu, dalam waktu dekat, Closeup juga memberikan dukungan melalui sebuah website yang akan menjadi hub sekaligus safe space bagi generasi muda untuk mencari dan berbagi inspirasi dalam menjalani hubungan.
“Kami harap kampanye#SpeakUpforLove dapat membantu lebih banyak pasangan muda Indonesia untuk mengeksplorasi dan memiliki hubungan yang sehat dan penuh cinta,” tutup Distya. (Edi Triyono)