Jakartakita.com – Penelitian Health Collaborative Center (HCC) mengidentifikasi bahwa terdapat empat pemaknaan stunting yang tidak tepat, kontradiksi daya beli pada pangan bergizi serta perilaku makan. Pertama, responden mempersepsikan bahwa anak tidak rentan terkena stunting pada kehamilan yang kurang gizi, kedua, responden tidak mempercayai bahwa bayi dengan berat lahir rendah rentan terkena stunting, ketiga responden tidak percaya stunting menghambat perkembangan otak atau kognitif anak, dan keempat, stunting dianggap tidak berhubungan dengan pola asuh orang tua.
Peneliti utama dan Chairman HCC Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK mengungkapkan bahwa 95 % responden yang terlibat pada penelitian ini pernah mengetahui stunting dan 98% diantaranya percaya bahwa stunting terjadi di Indonesia. Ketika mendapatkan informasi tentang stunting, responden merasakan khawatir, takut dan sedih. Sejalan bahwa responden merasa terancam dengan adanya stunting. Namun 50% responden masih merasa lebih terancam dengan covid-19 dibandingkan dengan stunting.
Masyarakat mempercayai bahwa stunting berkaitan erat dengan kehidupan keluarga (1032 dari 1599 atau 65%) . Namun, masyarakat tidak mempercayai bahwa stunting dapat disebabkan oleh pola asuh orang tua kepada anak (1014 dari 1646 atau 62%). Masyarakat lebih mempercayai bahwa stunting disebabkan karena asupan makanan dan minuman yang diberikan kepada anak (900 dari 1650 atau 54,5%).
Di lain sisi, masyarakat juga berpendapat bahwa anak rentan terkena stunting karena keluarga tidak mampu membelikan pangan yang bergizi (858 dari 1648 atau 52%). Kondisi tersebut sejalan dengan perilaku pengaturan makan di keluarga yang mana lebih memilih memasak daripada membeli makanan untuk keluarga yakni 1589 dari 1663 atau 95%,” ucap dr. Ray Wagiu di Jakarta, Selasa (13/12).
Persepsi masyarakat tersebut juga dibuktikan dengan pemahaman masyarakat bahwasanya penyebab utama terjadinya stunting adalah pola makan, kemiskinan dan pengetahuan terkait stunting. Sejalan dengan pemahaman responden tentang perilaku yang dianggap dapat mencegah stunting yakni mengatur pola makan yang seimbang untuk anak dan mencari tahu tentang stunting.
Menurut Menteri Kesehatan periode 2014-2019, Prof Nila Moeleok menyampaikan bahwa pengetahuan dan perspektif atau pemaknaan masyarakat adalah kunci keberhasilan intervensi stunting. Itu sebabnya peningkatan kapasitas pengetahuan Kesehatan terutama terkait stunting perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah dan semua pihak, agar target 14% penurunan stunting dapat tercapai.
Dalam mencegah stunting, masyarakat menganggap bahwa ini adalah peran dari masing-masing keluarga dengan tentunya dukungan penuh dari pemerintah. Kepercayaan masyarakat terhadap hal ini menjadi peluang baik bagi pemerintah untuk dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku yang tepat pada upaya pencegahan stunting. Masyarakat menilai bahwa peran yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah adalah upaya terkait dengan edukasi tentang gizi dan stunting serta pola makan yang tepat, memastikan ketersediaan bahan makanan bergizi serta menyediakan layanan Kesehatan untuk anak yang dapat terakses. Masyarakat memiliki harapan penuh terhadap pemerintah untuk dapat menyediakan lingkungan yang mendukung dan memampukan masyarakat untuk memiliki persepsi yang tepat dan berperilaku positif.
Secara khusus, kelompok masyarakat perempuan yang berpartisipasi pada penelitian ini menilai bahwa pengasuhan Kesehatan anak seharusnya adalah tugas kedua orang tua, ibu dan bapak yang perlu dilibatkan pada program-program Kesehatan di posyandu maupun puskesmas. Sebagaimana disebutkan bahwa masyarakat paling banyak mengetahui tentang stunting dari bidan.
Oleh karena itu, HCC mengusulkan:
- Program edukasi stunting yang melibatkan kedua orang tua (ibu dan bapak) .
- Memperkuat konten edukasi stunting terkait bahaya serta cara mencegah stunting secara lebih spesifik dengan pembagian peran antara ibu dan bapak.
- Kampanye gizi seimbang, stunting dan pola asuh orang tua sebagai satu kampanye terintegrasi
- Menjadikan bidan sebagai agent of change dalam edukasi gizi dan pola makan yang seimbang dalam 1000 HPK
- Memastikan adanya program terintegrasi untuk penyediaan pangan yang bergizi dan terakses bagi seluruh kalangan masyarakat
- Memastikan adanya layanan posyandu, puskesmas yang dapat terakses oleh keluarga.
Research associate Bunga Pelangi, MKM, enam indikator pemaknaan negatif tentang stunting temuan penelitian ini yaitu: Responden tidak setuju stunting disebabkan faktor kurang gizi, Stunting tidak berhubungan dengan ketidakmampuan membeli pangan sumber gizi, Stunting bukan kondisi medis serius, dan stunting tidak memengaruhi kondisi keluarga.
Bahkan ketika dilakukan analisis lanjutan, Dr Ray melihat konsistensi antara pemaknaan stunting terhadap persepsi, keenam indikator yang salah kaprah ini juga konsisten dengan perceptive barrier dari responden. Terlihat dari hasil 22% responden tidak setuju bahwa stunting adalah ancaman kesehatan, 10% responden tidak setuju dampak stunting akan berat untuk anak dan negara, bahkan dikaitkan dengan masa pandemi lebih dari 40% responden meyakini bahwa selama pandemi, ancaman Covid-19 jauh lebih serius dibanding stunting. Ini menunjukkan bahwa faktor-faktor terkait seberapa efektif masyarakat menerima informasi dan edukasi tentang stunting diduga masih belum optimal,” beber Dr Ray yang juga merupakan staf pengajar di Kedokteran Komunitas FKUI.
Dari aspek metode, research associate HCC Bunga Pelangi menjelaskan, kesan kontradiksi pemaknaan stunting dari penelitian HCC ini diduga berkaitan dengan adanya perbedaan seriousness perspective dari responden sebagai perwakilan masyarakat terkait pengatahuan dasar tentang stunting, definisi, penyebab, penanganan hingga sumber informasi tentang stunting.
Menurut Bunga, “metode HBM yang kami pakai meskipun secara parsial dapat mendeteksi potensi kesenjangan sumber dan ketepatan informasi termasuk pihak-pihak sumber informasi. Sehingga ini menjadi panduan bagi strategi edukasi tentang stunting agar lebih menyasar pengetahuan mendasar tentang stunting,” ungkapnya.
Lebih lanjut Dr Ray dan Bunga menegaskan temuan studi HCC tentang pemaknaan stunting ini dapat mewakili kondisi faktual di masyarakat Indonesia terkait seberapa seriusnya masyarakat menilai dampak stunting untuk masa depan bangsa. “Hipotesis lanjutan kami adalah efektifitas edukasi terkait stunting di masyarakat Indonesia masih menyisakan celah untuk dimantapkan, mengingat masyarakat tidak benar-benar memaknai bahwa stunting ini adalah ancaman serius terhadap anak Indonesia bahkan terhadap masa depan bangsa,” ujar Ray yang sering memberi edukasi lewat Instagram @ray.w.basrowi ini.
Penelitian ini kemudian mengajukan potensi rekomendasi terkait pemantapan pemahaman masyarakat terkait stunting. Diantaranya perlu ada penyegaran konsep komunikasi stunting yang berorientasi dampak serius dari stunting serta bagaimana stunting ini sebenarnya bisa dicegah sejak awal. Penting juga untuk memantapkan metode edukasi stunting dengan pembahasaan yang sederhana dan sebanyak mungkin menggunakan pola seperti edukasi protocol selama pandemic yang menggunakan kekuatan media sosial.
Temuan Penting Penelitian Pemaknaan Stunting HCC
Indikator Kontradiktif
• 5 dari 10 (50%) responden tidak percaya / tidak setuju bahwa stunting bisa menghambat kognitif anak.
• 4 dari 10 (44%) responden tidak setuju bahwa risiko dan penyebab stunting karena faktor kurang nutrisi dari makanan
• 6 dari 10 (57%) responden tidak yakin bahwa anak risiko stunting berhubungan dengan pola asuh
• 5 dari 10 (47%) responden menyatakan bahwa risiko stunting bukan karena ketidakmampuan membeli pangan bergizi
• 4 dari 10 (35%) responden menegaskan bahwa stunting bukan penyakit atau kondisi medis yang serius
• 2 dari 10 (16%) responden tidak yakin bahwa stunting bisa berpengaruh buruk bagi kondisi keluarga secara keseluruhan
Demografi Responden
• 1676 responden, 79% perempuan dan 21% laki-laki
• Berasal dari 31 Provinsi, terdapat 6 provinsi terbanyak yang ikut serta dalam survey, yakni Jawa Barat (27,9%), Jawa Timur (14,2%), Jawa Tengah (13,1%), DKI Jakarta (10,4%) dan Banten (7,3%) dan DIY (3,3 %)
• Pendidikan terakhir dari responden adalah SMA/Sederajat (63%), Strata/Sarjana (20%), Diploma (9,7%).
• Responden terbanyak berperan sebagai seorang ibu dan istri (67,8%), berusia 20-35 tahun, belum menikah (14,5%) serta seorang bapak dan suami (12%). (Edi Triyono)