Jakartakita.com – Pemasangan alat peraga kampanye (APK) atau baliho politik di area publik dinilai mengganggu.
Selain itu, pesan komunikasi yang hendak disampaikan juga menjadi tidak efektif kepada konstituen.
“Di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, dan lain-lain, di mana informasi lebih mudah ditemukan, rasanya kurang masuk di akal jika baliho politik masih bertebaran di mana-mana. Segregasinya masih sangat miskin,” kata Content Creator sekaligus Founder Malaka Project, Ferry Irwandi saat menjadi pembedah hasil #PraxiSurvey bertema Aspirasi dan Preferensi Mahasiswa pada Pemilu 2024 di Jakarta, Senin (22/1) lalu.
“Saya malah masih melihat baliho politik dari Pemilu 2019 di jalanan. Ini tandanya para partai politik tersebut hanya memasang saja, tanpa memikirkan bagaimana membersihkan baliho-baliho ini,” sambung Ferry.
Lebih lanjut Ferry menilai, baliho politik dan bendera partai juga merusak estetika dan pemandangan.
Selain merusak pemandangan, pemasangan baliho politik di area terbuka juga sempat memakan korban pengendara kendaraan umum.
Mengutip informasi dari media, alat peraga kampanye (APK) ini sempat membuat kecelakaan kepada sepasang suami-istri.
Keduanya mengalami kecelakaan sepeda motor di fly over Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, karena tersangkut bendera partai yang roboh.
Selanjutnya di Cakung, Jakarta Timur, dua orang ibu-ibu mengalami kecelakaan dan terjatuh dari motor setelah tertimpa baliho kampanye caleg.
Pendapat Ferry nyatanya sejalan dengan hasil survei Praxis PR yang mengungkap fakta bahwa hanya ada 21,08 persen mahasiswa yang masih menjadikan iklan OOH (Out of Home), seperti baliho, sebagai sumber informasi politik.
Survei Praxis juga menunjukkan, sumber informasi politik yang paling banyak digunakan oleh mahasiswa adalah media massa daring (66,43%), Instagram (50,63%), dan Televisi (47,15%).
Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa masih mengacu pada sumber pemberitaan yang kredibel dalam mencari informasi.
Meski demikian, media sosial juga masih digunakan sebagai ruang kontestasi politik dan sumber informasi.
Di kesempatan yang sama, Director of Public Affairs Praxis, Sofyan Herbowo mengatakan, maraknya pemasangan iklan OOH, seperti baliho, menjadi indikasi terjadinya stagnasi kaderisasi partai politik.
“Saat ini bisa dilihat bahwa ketua umum partai politik itu bisa menjabat lebih dari satu dekade, termasuk anggotanya yang merupakan pemain lama. Politisi muda agak sulit menjadi pucuk pimpinan partai, padahal mereka yang lebih memahami kondisi saat ini yang sudah mengalami pergeseran,” jelas Sofyan.
Di tempat yang sama, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Arga Pribadi Imawan berpendapat, penggunaan baliho politik itu memiliki sifat yang teritorial.
Secara simbolik, kata dia, kehadiran APK (alat peraga kampanye) di suatu wilayah hanya menjadi penanda kehadiran saja.
“Wilayah teritorial menjadi penting untuk politik di Indonesia saat ini. Aspek simbolik digunakan ketika berbicara mengenai baliho politik, dengan makna bahwa wilayah ini adalah wilayah dari seorang kandidat tertentu dan hal ini sepertinya tidak akan hilang,” kata Arga.
Lebih lanjut Arga berpendapat, saat ini politik bergerak di ruang yang cair dan telah mengalami banyak pergeseran tren sejak Pemilu 2004.
“Melalui media sosial, politik bergerak di aspek bahasa dan visual. Ketika seorang calon pemimpin menggunakan akun pribadinya dalam menyuarakan visi, misi, atau program-program yang ia janjikan, tanpa disadari mereka telah melakukan media kampanye,” ujar Arga.
Asal tahu saja, Praxis sebagai agensi public relations (PR) dan public affairs (PA) kembali menggelar survei independen ketiga untuk berkontribusi membangun ekosistem demokrasi yang sehat.
Survei kali ini mengusung tema, “Aspirasi dan Preferensi Mahasiswa pada Pemilu 2024” sebagai kelanjutan dari riset yang dilaksanakan pada April dan Agustus 2023 silam.
Selanjutnya, Praxis berkolaborasi dengan Election Corner (EC) Fisipol UGM guna mengkaji temuan kuantitatif dengan melakukan riset kualitatif pada 15 Januari 2024 melalui aktivitas Focus Group Discussion (FGD) dengan melibatkan empat akademisi dan mahasiswa perwakilan Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Mulawarman (Unmul), dan Universitas Nusa Cendana (Undana).
Adapun survei Praxis PR ini dilakukan dengan dua metodologi, kuantitatif dan kualitatif.
Survei kuantitatif dilaksanakan pada 1-8 Januari 2024 kepada 1.001 mahasiswa dengan rentang usia 16-25 tahun dan dilakukan pada 34 provinsi di Indonesia.