Jakartakita.com – DPR RI telah menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pemilihan Umum (Perppu Pemilu) menjadi UU Pemilu.
Direktur Eksekutif Democracy and Constitution Institute (Deconstitute), Harimurti Adi Nugroho menilai terdapat permasalahan dalam proses persetujuan Perppu Pemilu tersebut.
Hari menjelaskan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UUP3), Perppu harus diajukan ke DPR dan disetujui dalam persidangan yang berikut.
Yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah Perppu ditetapkan namun untuk Perppu Pemilu, ini berarti masa persidangan III tahun sidang 2022-2023 namun persetujuan perppu itu baru dilakukan pada masa persidangan IV,” katanya.
“Jadi ada masalah dari sisi prosedur, yaitu proses persetujuannya karena menurut UUD 45 dan UUP3, pengajuan dan persetujuan itu harus dilakukan pada masa sidang pertama DPR setelah Perppu ditetapkan, yaitu masa persidangan III tanggal 10 Januari hingga 16 Februari 2023.
Tapi persetujuannya khan baru pada masa sidang berikutnya, yaitu 4 April 2023 padahal yang namanya Perppu itu mengandung unsur kegentingan yang memaksa, mestinya disegerakan,” ungkap Harimurti, Senin (10/4/2023).
Berdasarkan pasal 52 UUP3, apabila Perppu tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Perppu tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Saat ini terjadi, maka pengaturan pemilu kembali merujuk pada Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan semua aturan dalam Perppu Pemilu yang sudah diimplementasikan selama masa keberlakuan Perppu, yakni antara 12 Desember 2022 sampai dengan 16 Februari 2023, adalah tetap berlaku dan sah mengikat.
Setelah Perppu dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, pemerintah dapat mengantisipasi dengan mengeluarkan Perppu baru yang isinya sama dan memastikan Perppu baru tersebut tidak terlambat lagi mendapatkan persetujuan DPR.
Menurut Harimurti, permasalahan dalam proses pengesahan ini dapat berlanjut apabila terdapat pihak yang membawanya ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan meminta MK untuk memutuskan agar undang-undang yang baru disahkan tersebut (Undang-Undang tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pemilihan Umum) menjadi tidak berlaku karena mengandung cacat formil.
“Kami sarankan untuk ikuti prosedur yang berlaku agar tidak dianggap cacat formil dan inkonstitusional. Kalaupun dianggap demikian, pemilu tetap dapat berjalan sesuai UU Pemilu Nomer 7 Tahun 2017 dan pemerintah bisa antisipasi dengan tetapkan Perppu baru. Cuma ya jadinya repot sendiri karena masalah ini,” kata Harimurti.
Sebagaimana yang diberitakan sebelumnya, pemerintah menerbitkan Perppu tentang pemilu pada Desember 2022 silam.
Perppu ini diterbitkan untuk mengubah sejumlah pasal pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, termasuk untuk mengakomodasi regulasi pemilu 2024 pada empat Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua. Persetujuan DPR atas Perppu ini baru diberikan pada pekan lalu, yaitu tanggal 4 April 2023.